Air kawasan Merapi masih teka-teki

id air kawasan merapi

Air kawasan Merapi masih teka-teki

Masduki Attamami

"Kami memang menemukan air sumur warga berbau belerang"

Jogja (ANTARA Jogja) - Kondisi air di kawasan Gunung Merapi pascaerupsi 2010, sampai sekarang masih menjadi teka-teki. Air itu layak dikonsumsi atau tidak.

Sejumlah sumur warga di kawasan kaki Merapi di wilayah Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, terutama di sekitar aliran lahar Sungai Gendol, saat ini menurut warga airnya tidak layak dikonsumsi karena tercium bau belerang.

Air yang diambil dari sumur setempat tercium bau belerang yang menyengat. "Kemungkinan besar sumur-sumur warga ini tercemar belerang yang meresap melalui Sungai Gendol," kata Kepala Desa Sindumartani, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman, Hartono.

Menurut dia, sumur warga yang tercemar belerang di antaranya di Dusun Murangan, Desa Sindumartani yang meliputi RT 1, RT 2 dan RT 3 di wilayah RW 5.

"Di tiga RT tersebut saat ini dihuni 90 kepala keluarga (KK), atau sekitar 500 jiwa dari segala usia," katanya.

Ia mengatakan warga merasakan adanya aroma belerang yang menyengat dari air sumur mereka sejak beberapa waktu lalu, atau sejak banjir lahar dingin sering terjadi di Sungai Gendol.

"Saat ini warga harus mencari air di lokasi yang masih aman, atau di wilayah tetangga RT, untuk memenuhi kebutuhan minum dan memasak," katanya.

Menurut Hartono, sebagian warga lainnya menggunakan air mineral isi ulang untuk keperluan minum maupun memasak. Air sumur hanya digunakan untuk mandi dan mencuci baju maupun perabotan rumah tangga.

Ia mengatakan tercemarnya sumur warga di Dusun Murangan kemungkinan karena letak dam Sungai Gendol di dusun ini cukup tinggi, sehingga terjadi genangan air bercampur dengan belerang.

"Air sisa banjir lahar yang menggenang itu kemungkinan meresap ke dalam tanah, dan kemudian merembes ke sumur warga. Jarak antara rumah warga dengan tanggul Sungai Gendol hanya 50 hingga 100 meter," katanya.

Dam Murangan yang kini dipenuhi material vulkanik Merapi, kata dia material itu juga menumpuk sangat tinggi, sehingga belerang hanya mengendap, dan sulit mengalir ke hilir.

"Warga berharap agar Dam Murangan di Sungai Gendol ini bisa diturunkan sedikit untuk aliran belerang, sehingga tidak terus menerus merembes ke sumur warga," katanya.

Menurut dia, warga saat ini pun berharap ada bantuan air bersih guna memenuhi kebutuhan minum dan memasak sehari-hari. "Saat ini pasokan air bersih benar-benar diharapkan warga, terutama untuk keperluan makan dan minum," katanya.

Uji kimiawi

Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman melakukan uji kimiawi terhadap air sumur warga di kawasan kaki Gunung Merapi, terutama di sepanjang aliran lahar Sungai Gendol, menyusul adanya keluhan bau belerang dari warga.

"Kami langsung melakukan pemeriksaan terhadap air sumur warga di lereng Gunung Merapi, terutama yang berada di sekitar bantaran sungai yang berhulu di puncak Merapi," kata Kepala Bidang Penanggulangan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Sleman Cahya Purnama.

Menurut dia, pemeriksaan ini untuk memastikan dampak terhadap kesehatan masyarakat, dan layak atau tidaknya air sumur itu dikonsumsi.

"Kami memang menemukan air sumur warga di Dusun Morangan, Desa Sindumartani, Kecamatan Ngemplak, berbau belerang, meskipun warnanya cerah. Oleh karena itu, kami perlu melakukan uji kimiawi guna mengetahui unsur yang terkandung dalam air sumur tersebut," katanya.

Ia mengatakan sumur warga di bantaran Sungai Gendol bisa dikuras, dan kemudian  dilakukan penjernihan lagi, sehingga bisa dikonsumsi seperti semula.

"Ada beberapa 'treatment' yang bisa dilakukan. Tetapi harus menunggu kandungan di dalam air dari sumur itu diketahui terlebih dulu, sehingga bisa diputuskan layak dikonsumsi atau tidak," katanya.

 

Mata air berubah

Erupsi Gunung Merapi menyebabkan pola mata air berubah, karena terkuburnya sumber utama mata air di sabuk mata air paling atas oleh material vulkanik, kata peneliti dari Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Langgeng Wahyu Santosa.

"Perubahan pola mata air di sabuk mata air tersebut akibat endapan material vulkanik terutama di sekitar aliran Sungai Kuning, Gendol, dan Sungai Woro," kata Langgeng yang juga anggota Klinik Lingkungan dan Mitigasi Bencana (KLMB) Fakultas Geografi UGM.

Menurut dia, salah satu sumber mata air potensial yang selama ini telah dimanfaatkan sebagai sumber utama air bersih Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten Sleman adalah mata air hulu Sungai Kuning, yakni Umbul Wadon dan Umbul Lanang. Kedua sumber ini telah terkubur endapan material vulkanik Merapi.

"Untuk dapat merumuskan tindakan yang lebih baik dan tepat dalam pengelolaan sumber daya mata air pascaerupsi Merapi, harus dipahami pendekatan geomorfologi kegunungapian," katanya.

Selain itu, kata dia, juga perlu dilakukan kajian potensi kerentanan air tanah bebas pencemaran.

Ia mengatakan beberapa kajian lain yang perlu dilakukan di antaranya pola perubahan sabuk mata air dan karakteristiknya, hidrogeokimia air tanah dan mata air, kerusakan sistem jaringan air bersih, perencanaan pola ruang, serta kajian lingkungan hidup strategis ekoregion gunung api.

Peneliti dari Fakultas Teknik UGM Heru Hendrayana mengatakan saat ini kondisi mata air hanya tertutup material letusan Merapi, sehingga hanya mengubah bentang alam lokal dan tutupan lahan. Jika nanti ada mata air yang akan keluar, itu karena ada tekanan tinggi dari dalam tanah.

"Mata air yang keluar cenderung mencari tempat yang bertekanan rendah, bisa menyebar atau terkonsentrasi. Kita masih menunggu sumber air itu akan muncul di mana," katanya.

Terancam krisis air     

Warga di kawasan Gunung Merapi di Kabupaten Sleman, DIY, terancam krisis air bersih jika Palang Merah Indonesia (PMI) benar-benar menghentikan pasokan air bersih mulai akhir Maret 2011.

"Jika PMI benar-benar menghentikan pasokan air, maka masyarakat di kaki Merapi akan kesulitan mendapatkan air bersih," kata Camat Pakem Budiharjo.

Menurut dia, saat ini memang banyak bantuan pipa dari organisasi swasta maupun perorangan, namun belum bisa dilakukan penyambungan ke sumber air untuk mencukupi kebutuhan warga, karena jalur ke sumber air di Umbul Wadon maupun Umbul Lanang masih sering dilanda banjir lahar dingin.

"Kebutuhan air bersih sampai sekarang masih mengandalkan droping air terutama dari PMI yang sejak bencanaerupsi Merapi rutin memasok air bagi warga," katanya.     

Saat ini, kata dia, dari perusahaan daerah air minum juga belum pasti kapan bisa mengalirkan air dari sumber di lereng gunung itu karena kondisi alam.

Ia mengatakan selain warga yang berada di daerah yang terdampak erupsi Merapi, perhotelan dan penginapan di sekitar gunung tersebut juga masih membeli air setiap hari. "Satu tangki air bersih isi 5.000 liter saat ini harganya antara Rp100 ribu hingga Rp120 ribu," katanya.

Dinas Pekerjaan Umum dan Pembangunan Kabupaten Sleman masih melakukan pasokan air dengan menggunakan delapan truk tangki yang dimiliki.

"Namun, kebutuhan bagi para warga diyakini tidak bisa tercukupi, karena selama ini PMI setiap hari melakukan droping air sebanyak 70 tangki kepada warga di lereng Merapi, dan apabila PMI menghentikan pasokannya, warga akan banyak kekurangan air.

Bupati Sleman Sri Purnomo mengatakan pihaknya saat ini sedang mengajukan permohonan ke PMI Pusat untuk bisa memperpanjang pasokan air ke kawasan kaki Merapi, khususnya Kecamatan Pakem dan Cangkringan.

"Kami sedang mengajukan permohonan ke PMI, dan harapan kami droping air bisa diperpanjang, sehingga kebutuhan air bersih warga Merapi dapat terpenuhi, hingga saluran air dari mata air bisa tersambung," katanya.

Kepala Badan Penanggulanan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Sleman Urip Bahagia mengatakan masalah air bagi warga kawasan Merapi masih dalam pembahasan.

"Kami masih akan meminta perpanjangan droping air, karena jika tidak, kami akan berkoordinasi dengan instansi terkait untuk mencukupi kebutuhan air bersih bagi warga di kawasan itu," katanya.

Menurut dia, saat ini yang penting adalah kecukupan air bersih bagi warga, baik yang mengungsi, yang tinggal di hunian sementara, dan tempat lainnya. "Kami akan mengupayakan ketersediaannya," katanya.

Warga yang tinggal di kawasan Merapi, dan masih mengandalkan pasokan air, jumlahnya 20 ribu jiwa lebih yang tersebar di Kecamatan Cangkringan, Pakem, Turi dan Kecamatan Tempel.

 

Pipa air mandiri       

Korban bencana erupsi Gunung Merapi di Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, DIY, memasang pipa saluran air secara mandiri dari mata air "Umbul Lanang" dan "Umbul Wadon" di lereng Gunung Merapi.

"Warga secara mandiri melakukan pemasangan pipa air untuk mengantisipasi jika nanti droping air dari PMI benar-benar dihentikan," kata Kepala Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Heri Suprapto.

Menurut dia, pemasangan dan perbaikan pipa air yang rusak akibat diterjang awan panas Merapi ini murni inisiatif warga, dan dikerjakan secara bergotong-royong.

"Kami mendapat informasi bahwa droping air bersih dari PMI akan segera dihentikan, dan selama ini droping dari PMI memang sangat membantu memenuhi kebutuhan air bersih warga korban Merapi," katanya.

Ia mengatakan selama ini warga kawasan Merapi hanya menggantungkan pemenuhan kebutuhan air dari droping yang dilakukan Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan (PUP) Kabupaten Sleman, PMI, maupun donatur lainnya.

"Sejak bencana erupsi, droping air bersih dari PMI memang paling banyak mencukupi kebutuhan warga. Sehingga, jika sampai droping air dari PMI benar-benar dihentikan, akan sangat terasa sekali," katanya.

Heri mengatakan apabila droping air hanya dilakukan Dinas PUP dan donatur, pasti tidak mencukupi. "Kami sangat berharap droping air dari PMI tidak berhenti, karena warga masih sangat membutuhkan," katanya.

Ia mengatakan pemasangan pipa air sepanjang delapan kilometer itu, yakni dari "Umbul Wadon" atau "Umbul Lanang" hingga barak pengungsi Kepuharjo serta hunian sementara Dusun Gondang I.

"Pipanya kami minta ke Dinas Pekerjaan Umum Provinsi DIY, namunpemasangan pipa dilakukan secara gotong-royong oleh masyarakat dengan bergantian," katanya.

Debit air berkurang

Debit air Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirtamarta Yogyakarta berkurang sekitar 50 liter per detik, setelah matinya salah satu sumber air akibat erupsi Gunung Merapi pada November 2010, yaitu Umbul Wadon di Kabupaten Sleman.

"Sebelum terjadi bencana erupsi dan banjir lahar dingin Merapi, debit air PDAM Tirtamarta sekitar 620 liter per detik, tetapi kini hanya sekitar 570 liter per detik," kata Direktur Utama PDAM Tirtamarta Yogyakarta, yang waktu itu masih dijabat Imam Priyono di sela acara 'Grebeg Air 2011' di Yogyakarta.

Menurut dia, meski debit air berkurang,pihaknya masih mampu memenuhi kebutuhan seluruh pelanggan PDAM Tirtamarta sebanyak 34.000 pelanggan, yaitu 550 liter per detik.

Namun demikian, pelanggan yang berada di Kota Yogyakarta bagian selatan tidak mendapatkan pelayanan yang maksimal, karena tekanan air PDAM tidak terlalu kuat, sehingga aliran air ke lantai dua atau tiga rumah maupun gedung, menjadi lemah.

"Fungsi dari Umbul Wadon adalah sebagai pendorong, tetapi karena sudah hilang, maka fungsi pendorong pun tidak ada lagi," kata Imam.

Oleh karena itu, kata dia, pihaknya kini memaksimalkan debit air di sumur-sumur dalam milik PDAM Tirtamarta yang jumlahnya 34 sumur, dengan rata-rata debit air setiap sumur 15-20 liter per detik.

Konsekuensi dari berkurangnya debit air, PDAM Tirtamarta tidak bisa menambah jumlah pelanggan.

"Kami berharap, pemerintah pusat bisa segera melakukan perbaikan terhadap jaringan air di Umbul Wadon, sehingga debit air bisa kembali meningkat," katanya.

Upaya jangka panjang yang bisa dilakukan, menurut dia adalah menyatukan PDAM di tiga kota dan kabupaten di DIY, yaitu Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul, sehingga bisa mengambil air dari sumber di Magelang, Jawa Tengah. (M008)

Pewarta :
Editor: Herry Soebanto
COPYRIGHT © ANTARA 2024