Jogja (Antara Jogja) - Terdakwa kasus penghinaan warga Yogyakarta, Florence Sihombing menganggap perbuatan yang dilakukan bukan kategori pencemaran nama baik sehingga tidak dapat dijerat Pasal 27 Ayat 3 UU ITE.
Perbuatan itu tidak dapat dijerat 27 Ayat 3 UU ITE, katanya dalam nota keberatan (eksepsi) di Pengadilan Negeri Yogyakarta, Rabu.
Jaksa menjerat Florence dengan Pasal 27 Ayat 3 jo Pasal 45 Ayat 1 dan Pasal 28 ayat 2 jo Pasal 45 ayat 2 tentang UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dengan ancaman enam tahun penjara.
Dakwaan Jaksa kepada Florence itu didasari kata-katanya dalam jejaring media sosial Path yang berbunyi, "Jogja miskin, tolol, dan tak berbudaya. Teman-teman Jakarta, Bandung jangan mau ke Jogja."
"Dalam perkara ini, tidak ada orang yang spesifik dituju sehingga tidak mungkin bisa diterapkan ketentuan Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang ITE," kata Florence tanpa didampingi penasihat hukum.
Dalam nota keberatan setebal 33 halaman, ia menyebutkan, bahwa suatu kasus dapat disebut penghinaan atau pencemaran nama baik ketika ditujukan untuk seorang pribadi. Sebab, kehormatan atau nama baik hanya dimiliki orang secara pribadi.
Delik penghinaan, kata dia, adalah delik yang bersifat subjektif, sehingga didalamnya melekat orang yang dihina secara langsung.
Oleh karena kalimatnya di media sosial path dianggap tidak menyebutkan nama seseorang secara spesifik, maka menurut dia perbuatan itu tidak dapat dikaitkan dengan delik penghinaan.
"Orang yang merasa dihina harus orang tertentu atau spesifik, tidak boleh orang secara umum," kata dia.
Selanjutnya, ia juga menyebutkan bahwa media sosial path yang ia gunakan merupakan kategori media privasi. Sebab, pertemanan dalam jejaring sosial itu hanya dibatasi 150 orang teman.
Setiap kata-kata yang diunggah di media tersebut tidak dapat dilihat orang lain diluar pertemanan, kecuali disebarkan atau didistribusikan oleh temannya sendiri.
"Tidak seperti media sosial Facebook, yang setiap postingan dapat dilihat siapapun tanpa terkecuali," kata dia.
BAP Bermasalah
Ia juga mengklaim bahwa Berita Acara Pemeriksaan (BAP) terhadap dirinya telah direkayasa oleh aparat penyidik kepolisian setempat. Penyidik, menurut dia, memaksa untuk menandatangani BAP, namun dirinya menolak karena tanpa ada pemeriksaan sebagai tersangka, serta dibuat tanpa memberikan kesempatan mencari penasihat hukum.
"Namun akhirnya menandatangani karena takut, sebab penyidik mengancam akan melakukan upaya paksa penahanan," kata dia.
Pada 29 Agustus 2014, kata dia, Polda DIY memberikan surat undangan kepada dirinya dengan agenda klarifikasi, namun saat memenuhi panggilan itu penyidik menganggap bahwa surat yang diterimanya merupakan surat panggilan.
"Padahal Pasal 112 ayat (1) KUHAP menyebutkan bahwa sarat sah surat panggilan harus mencantumkan alasan tegas apakah pemanggilan sebagai saksi, tersangka, atau ahli," kata dia.
Dengan alasan itu, ia meminta agar seluruh dakwaan dapat dibatalkan oleh Majelis Hakim karena bertentangan dengan Undang-Undang serta didasarkan dari BAP yang tidak sah.
Mengenai eksepsi terdakwa itu, Jaksa penuntut Umum, R.R Rahayu meminta waktu Majelis Hakim selama sepekan untuk memberikan tanggapan. Sehingga, sidang dilanjutkan pada Rabu (26/11).
(KR-LQH)
Berita Lainnya
Florence Pugh, Chris Pine akan membintangi film "Don't Worry Darling"
Sabtu, 25 April 2020 9:30 Wib
Florence dinilai sengaja mendistribusikan informasi
Rabu, 24 Desember 2014 16:31 Wib
Jaksa minta majelis hakim tolak eksepsi Florence
Rabu, 26 November 2014 14:09 Wib
PN Yogyakarta gelar sidang perdana Florence
Rabu, 12 November 2014 14:01 Wib
Komite etik belum jatuhkan sanksi kepada Florence
Selasa, 2 September 2014 20:51 Wib
UGM : kasus Florence kategori pelanggaran sedang
Selasa, 2 September 2014 18:47 Wib
LSM Yogyakarta minta Polda hentikan proses pidana Florence
Selasa, 2 September 2014 14:30 Wib
Penahanan ditangguhkan Florence minta maaf kepada Sultan
Senin, 1 September 2014 17:16 Wib