Pengamat DDTC mengusulkan pajak solidaritas diberlakukan di masa pandemi

id Pajak,Pajak solidaritas,Pandemi

Pengamat DDTC mengusulkan pajak solidaritas diberlakukan di masa pandemi

Pengamat Pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Darussalam dalam National Conference on Accounting and Finance (NCAF) dengan tema Strategi dan Kebijakan Perpajakan dalam Pemulihan Ekonomi Nasional yang berlangsung secara virtual di Yogyakarta, Rabu. (ANTARA/HO/UII)

Yogyakarta (ANTARA) - Pengamat Pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Darussalam mengatakan pajak solidaritas bisa diberlakukan di Indonesia sebagai solusi untuk meningkatkan penerimaan pajak di tengah pandemi COVID-19.

"Mungkin bagi pihak yang merasa banyak memiliki kekayaan atas bumi di Indonesia, ini bisa menjadi salah satu opsi yang bagus," kata Darussalam dalam National Conference on Accounting and Finance (NCAF) dengan tema Strategi dan Kebijakan Perpajakan dalam Pemulihan Ekonomi Nasional yang berlangsung secara virtual di Yogyakarta, Rabu.

Darussalam menerangkan pajak solidaritas merupakan pungutan tambahan yang bisa berupa subjek, objek, dan/atau tarif baru di luar ketentuan pajak yang sudah ada.

"Tarifnya antara 2,5 sampai 15 persen dari pendapatan. Ini merupakan jenis pajak sementara untuk mengatasi persoalan suatu bangsa," kata dia.

Amerika Serikat pernah menggunakan instrumen pajak solidaritas ketika masa Perang Dunia I dan II untuk membiayai perangnya.

Ia mengatakan ada tiga persoalan yang paling besar di dalam industri pajak di Indonesia.

Pada 2020, rasio pajak Indonesia hanya sebesar 8,94 persen sehingga menempatkan Indonesia pada urutan tiga terendah di kawasan Asia Pasifik. tax buoyancy atau elastisitas penerimaan pajak selama satu dekade sebesar 0,83 persen.

"Potensi pajak kita itu di tahun 2019 untuk pribadi sebanyak 58 persen yang belum didapatkan. Masalah yang terakhir yaitu sejak 2009, target penerimaan pajak tidak pernah tercapai," kata dia.

Darussalam memaparkan, rasio pajak sebesar 15 persen juga menjadi acuan Indonesia untuk mendukung pembangunan berkelanjutan.

Meski demikian, menurut dia, hal yang jauh lebih penting adalah kepastian hukum pajak di Indonesia karena sangat dibutuhkan untuk menunjang kepercayaan investor ketika ingin melakukan investasi.

"Ketika kita melakukan reformasi pajak, saya pikir hal itu yang harus dibenahi terlebih dahulu," kata dia.

Revisi UU Perpajakan, menurut dia, adalah momentum untuk memutus persoalan fundamental perpajakan di Indonesia serta langkah reformasi pajak yang selaras dengan teori dan praktik.

"Ini adalah salah satu jalan untuk membantu pemulihan ekonomi dan sebagai langkah untuk konsolidasi fiskal dan menuju disiplin defisit anggaran 3 persen pada tahun 2023," kata dia.

 
Pewarta :
Editor: Bambang Sutopo Hadi
COPYRIGHT © ANTARA 2024