Mengoptimalkan aset data pajak untuk masa depan tax ratio

id tax ratio,aset data pajak ,data perpajakan

Mengoptimalkan aset data pajak untuk masa depan tax ratio

Suasana edukasi cortex pada wajib pajak strategis yang bertempat di Aula Kanwil DJP Papabrama,Kota Jayapura, Papua, Jumat (26/9). ANTARA/HO-DJP Papua.

Jakarta (ANTARA) - Perdebatan mengenai rendahnya tax ratio Indonesia selama lebih dari satu dekade terakhir kerap berfokus pada persoalan tarif dan kepatuhan wajib pajak. Padahal, di balik isu tersebut terdapat aset strategis yang semakin menentukan kinerja fiskal negara, yakni data perpajakan.

Dalam konteks ekonomi modern yang semakin terdigitalisasi, data tidak lagi berfungsi sebagai catatan administratif semata, melainkan telah bertransformasi menjadi modal utama negara dalam merumuskan kebijakan, memperluas basis pajak, dan meningkatkan kepatuhan sukarela.

Optimalisasi aset data pajak menjadi fondasi penting untuk mendorong peningkatan tax ratio secara berkelanjutan tanpa harus membebani perekonomian melalui kenaikan tarif pajak.

Dalam konteks Indonesia, angka tax ratio selama satu dekade terakhir relatif stagnan di kisaran 10–12 persen, sementara rata-rata negara Asia Tenggara telah menembus dua digit.

Kondisi ini mencerminkan keterbatasan ruang fiskal dan memperbesar ketergantungan terhadap pembiayaan utang, meskipun perekonomian nasional terus bertumbuh dan nilai PDB telah melampaui Rp20.000 triliun. Kondisi ini mengindikasikan adanya kesenjangan struktural antara potensi ekonomi dan kemampuan negara dalam mengonversinya menjadi penerimaan pajak.

Rendahnya tax ratio ini tidak sepenuhnya disebabkan oleh tarif pajak yang rendah atau lemahnya pertumbuhan ekonomi. Penelitian empiris di berbagai negara berkembang menunjukkan bahwa faktor struktural, seperti dominasi sektor informal dan keterbatasan basis data wajib pajak memainkan peran signifikan.

Dalam konteks Indonesia, sebagian besar aktivitas ekonomi masih berada di sektor informal atau semi-formal yang sulit dijangkau oleh sistem perpajakan konvensional. Tanpa dukungan data yang terintegrasi dan akurat, aktivitas ekonomi tersebut tetap berada di luar radar administrasi pajak.

Aset data pajak yang dikelola Direktorat Jenderal Pajak mencakup informasi pendaftaran, pelaporan, pembayaran, hingga data pihak ketiga dari sektor keuangan dan perdagangan.

Jumlah dan ragam data ini terus meningkat dari tahun ke tahun. Namun, tanpa integrasi dan pemanfaatan yang optimal, data tersebut belum sepenuhnya memberikan nilai tambah bagi peningkatan penerimaan negara.

Tantangan utama bukan terletak pada ketersediaan data, melainkan pada kualitas, konsistensi, dan kemampuan sistem untuk mengolah data menjadi dasar pengambilan keputusan yang efektif.

Struktur ekonomi

Karakteristik struktur ekonomi Indonesia turut memengaruhi kinerja tax ratio. Perekonomian nasional masih ditopang oleh sektor-sektor, dengan tingkat formalitas yang relatif rendah, seperti pertanian, perdagangan kecil, dan usaha mikro. Kontribusi sektor-sektor ini terhadap produk domestik bruto (PDB) cukup signifikan, tapi tidak sepenuhnya tercermin dalam basis penerimaan pajak.

Di sisi lain, sektor jasa modern dan industri bernilai tambah tinggi, yang umumnya menjadi tulang punggung penerimaan pajak di negara maju, masih berkembang secara bertahap.

Secara ekonomi, setiap kenaikan tax ratio sebesar satu persen dari PDB setara dengan tambahan penerimaan ratusan triliun rupiah. Namun, peningkatan tersebut tidak dapat dicapai hanya melalui penyesuaian tarif atau perluasan objek pajak secara normatif.

Pengalaman berbagai negara menunjukkan bahwa peningkatan rasio pajak yang berkelanjutan justru lebih banyak ditopang oleh perbaikan kualitas administrasi perpajakan, khususnya dalam pengelolaan aset data.

Di era ekonomi digital, data tidak lagi sekadar berfungsi sebagai catatan administratif, tetapi telah menjelma menjadi infrastruktur kebijakan fiskal yang menentukan kinerja penerimaan negara.

Dalam konteks ini, data pajak berperan penting sebagai alat pemetaan struktur ekonomi secara lebih akurat. Melalui integrasi data transaksi, laporan keuangan, dan informasi pihak ketiga, pemerintah dapat memperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai sektor-sektor ekonomi yang tumbuh pesat, namun belum optimal berkontribusi terhadap penerimaan pajak.

Data yang terkelola dengan baik memungkinkan dilakukannya intensifikasi dan ekstensifikasi pajak secara lebih terarah, adil, dan proporsional.

Pemanfaatan data juga memungkinkan otoritas pajak melakukan segmentasi wajib pajak berbasis risiko. Dengan pendekatan ini, pengawasan tidak lagi dilakukan secara merata, melainkan difokuskan pada kelompok dengan potensi risiko ketidakpatuhan yang lebih tinggi.

Pendekatan berbasis data ini terbukti lebih efisien dan mampu meningkatkan efektivitas administrasi perpajakan, sekaligus meminimalkan beban kepatuhan bagi wajib pajak yang telah patuh.

Data ekonomi Indonesia menunjukkan bahwa meskipun penerimaan pajak secara nominal terus meningkat, pertumbuhannya belum cukup untuk mendorong kenaikan tax ratio secara signifikan.

Pada 2023, penerimaan pajak tercatat sekitar Rp2.155 triliun dengan PDB nominal sekitar Rp20.892 triliun, menghasilkan tax ratio sekitar 10,31 persen. Angka ini, bahkan sedikit menurun dibandingkan tahun sebelumnya, meskipun realisasi penerimaan tumbuh positif.

Perbandingan internasional memperlihatkan bahwa rasio pajak Indonesia masih tertinggal dibandingkan rata-rata negara Asia Pasifik maupun rekomendasi lembaga internasional, seperti IMF yang menyarankan tax ratio minimal 15 persen bagi negara berkembang untuk menjamin keberlanjutan fiskal.

Dari sudut pandang makroekonomi, peningkatan penerimaan pajak berbasis data berkontribusi langsung terhadap ketahanan fiskal. Ketika penerimaan tumbuh lebih cepat dibandingkan pertumbuhan ekonomi, defisit anggaran dapat ditekan, tanpa mengorbankan belanja pembangunan.

Hal ini penting mengingat kebutuhan pembiayaan infrastruktur, pendidikan, dan perlindungan sosial yang terus meningkat. Dengan basis data yang kuat, kebijakan fiskal menjadi lebih responsif dan adaptif terhadap dinamika ekonomi.


Peran cortex

Transformasi digital administrasi perpajakan melalui implementasi coretax administration system merupakan langkah strategis dalam mengoptimalkan aset data pajak. Coretax dirancang sebagai sistem inti yang mengintegrasikan seluruh proses administrasi perpajakan, mulai dari pendaftaran, pelaporan, pembayaran, pemeriksaan, hingga penagihan dalam satu platform terpadu.

Dengan arsitektur ini, data perpajakan diharapkan tidak lagi terfragmentasi, melainkan tersusun secara konsisten dan dapat diakses secara real time.

Meskipun implementasinya menghadapi tantangan teknis pada tahap awal, coretax menyimpan potensi besar dalam meningkatkan kualitas data dan pelayanan pajak. Sistem ini memungkinkan terbentuknya satu pandangan menyeluruh terhadap setiap wajib pajak, sehingga otoritas pajak dapat memahami pola kepatuhan dan aktivitas ekonomi secara lebih komprehensif.

Dalam jangka panjang, keberadaan sistem ini akan mendukung pengambilan kebijakan berbasis bukti dan analisis data yang lebih mendalam.

Riset empiris menunjukkan bahwa kualitas layanan administrasi pajak yang didukung sistem digital berpengaruh positif terhadap kepatuhan wajib pajak. Ketika proses pelaporan dan pembayaran menjadi lebih sederhana, transparan, dan minim kesalahan, biaya kepatuhan menurun dan kepercayaan terhadap otoritas pajak meningkat.

Kondisi ini menciptakan ekosistem kepatuhan sukarela yang pada akhirnya berkontribusi pada peningkatan tax ratio secara alami.

Kebijakan fiskal Indonesia dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan pergeseran pendekatan yang semakin menekankan optimalisasi penerimaan melalui perbaikan sistem, bukan melalui tekanan tarif.

Pemerintah berupaya menjaga keseimbangan antara konsolidasi fiskal dan perlindungan iklim usaha, terutama pascapandemi. Dalam kerangka ini, aset data perpajakan diposisikan sebagai instrumen strategis untuk memperluas basis pajak secara alamiah. Data digunakan untuk memetakan potensi ekonomi, mengidentifikasi kesenjangan kepatuhan, serta merancang kebijakan yang lebih tepat sasaran.

Tantangan kepatuhan

Di balik potensi besar pemanfaatan data pajak, tantangan kepatuhan tetap menjadi isu krusial. Ekonomi informal dan shadow economy masih mendominasi sebagian aktivitas ekonomi nasional, sehingga banyak transaksi yang tidak tercatat dalam sistem perpajakan. Tanpa pendekatan berbasis data yang kuat, aktivitas ekonomi ini sulit dijangkau oleh administrasi pajak.

Dari perspektif teori ekonomi publik, pajak merupakan instrumen utama negara untuk menjalankan fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi. Teori Musgrave menekankan bahwa keberhasilan fungsi-fungsi tersebut sangat bergantung pada kapasitas administrasi fiskal. Dalam konteks perpajakan modern, kapasitas administrasi ini sangat ditentukan oleh kemampuan negara dalam mengelola informasi.

Selanjutnya, dalam teori asimetri informasi menjelaskan bahwa ketidakseimbangan informasi antara otoritas pajak dan wajib pajak akan menciptakan ruang bagi penghindaran dan penggelapan pajak. Oleh karena itu, penguatan aset data perpajakan menjadi prasyarat untuk memperkecil kesenjangan kepatuhan dan meningkatkan efektivitas pemungutan pajak.

Optimalisasi data pajak membuka peluang untuk secara bertahap mengintegrasikan aktivitas ekonomi informal ke dalam sistem formal. Melalui pemanfaatan data transaksi digital dan kerja sama lintas lembaga, otoritas pajak dapat memperluas jangkauan pengawasan, tanpa pendekatan represif.

Di sisi lain, peningkatan literasi pajak dan komunikasi publik tetap menjadi prasyarat penting agar pemanfaatan data tidak menimbulkan resistensi dari masyarakat.


Aset strategis

Pengalaman Indonesia melalui berbagai program intensifikasi berbasis data menunjukkan bahwa optimalisasi informasi dapat menghasilkan tambahan penerimaan signifikan. Program pengungkapan sukarela, misalnya, berhasil mengamankan penerimaan ratusan triliun rupiah dalam waktu relatif singkat.

Keberhasilan ini memperlihatkan bahwa data, ketika dikelola dengan baik, mampu mengubah potensi laten menjadi penerimaan aktual, tanpa harus mengubah struktur tarif pajak. Dalam perspektif kebijakan fiskal, pendekatan ini memberikan ruang fiskal tambahan, sekaligus menjaga stabilitas ekonomi.

Dengan demikian, diskursus mengenai kinerja penerimaan pajak tidak dapat dilepaskan dari isu pengelolaan aset data perpajakan. Di tengah kompleksitas ekonomi modern, negara dituntut untuk tidak hanya mengumpulkan data, tetapi juga mengelolanya sebagai aset strategis kebijakan fiskal.

Ketika data dikelola secara terintegrasi, pruden, dan akuntabel, penerimaan pajak akan meningkat secara alami, tax ratio terdorong naik secara struktural, dan APBN memperoleh fondasi yang lebih kokoh untuk membiayai pembangunan nasional secara berkelanjutan.

Masa depan peningkatan tax ratio Indonesia sangat ditentukan oleh kemampuan negara dalam mengelola data sebagai aset strategis. Ketika data pajak diperlakukan sebagai fondasi kebijakan fiskal, bukan sekadar arsip administratif, maka ruang fiskal dapat diperluas secara berkelanjutan. Investasi pada sistem, sumber daya manusia, dan tata kelola data akan menjadi penentu keberhasilan reformasi perpajakan di era ekonomi digital.

*) Dr M Lucky Akbar adalah Kepala Kantor Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan Jambi, Ditjen Pajak Kemenkeu








Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Mengoptimalkan aset data pajak untuk masa depan tax ratio

Pewarta :
Editor: Wening Caya Ing Tyas
COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.