Yogyakarta (ANTARA) - Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi mengatakan bahwa Salam Pancasila yang sempat menjadi pro dan kontra di masyarakat bukan dimaksudkan sebagai pengganti salam keagamaan melainkan sebagai salam kebangsaan.
"Salam Pancasila merupakan bentuk jalan tengah kebangsaan yang terbebas dari dampak teologis. Salam Pancasila tidak dimaksudkan sebagai pengganti salam keagamaan," kata Yudian dalam keterangan pers yang diterima di Yogyakarta, Sabtu.
Hal tersebut disampaikan Yudian saat menghadiri acara bedah buku karya Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Khoirul Anam yang berjudul "Salam Pancasila: Sebagai Salam Kebangsaan, Memahami Pemikiran Kepala BPIP RI," di kampus tersebut.
Dalam buku yang diterbitkan Penerbit Suka Pers UIN Suka Yogyakarta itu, Yudian menjelaskan beberapa hal sensitif secara keagamaan, di antaranya Salam Pancasila bukan untuk mengganti salam umat Islam, yaitu Assallamualaikum.
"Melainkan salam dalam hubungan kemanusiaan. Jika kita menyapa pemeluk agama lain dengan salam agama kita, maka itu membebani mereka. Demikian pula mengucapkan salam Om Swastiastu, kita dituduh masuk Hindu," katanya.
Yudian mengingatkan Salam Pancasila adalah salam yang menjembatani dan menjadi titik temu bagi rakyat tanpa melihat latar belakang apa pun. Pengucapannya di ranah publik servis bertujuan agar bangsa Indonesia tetap bersatu, tidak pecah, dan mendapatkan pahala dari Allah SWT.
"Salam Pancasila adalah perbuatan adat yang jika diniati ibadah akan mendapatkan pahala," katanya.
Sementara itu, Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Prof. Phil Al Makin mengatakan bahwa Yudian Wahyudi memiliki penafsiran yang baik tentang agama dan kebangsaan sehingga pihaknya yakin Salam Pancasila sebagai Salam Kebangsaan sudah melalui laku spiritual Kepala BPIP untuk bangsa Indonesia.
Sementara itu, penulis buku, Khoirul Anam mengatakan bahwa buku ini adalah klarifikasi dari Kepala BPIP dalam pertarungan wacana Islam fundamentalis dengan ideologi Pancasila sebagai ideologi yang dianggap paling luhur.
"Saya tidak masuk ke ranah politik karena yang menyatakan kontra berada di sisi oposisi. Buku ini tidak bisa menghadirkan analisa mendalam soal itu," katanya.
Menurut dia, ada beberapa hal yang bisa diungkap dalam buku ini terkait pemikiran Kepala BPIP tentang Salam Pancasila. Pertama, kritikan dari berbagai tokoh agama maupun politik tidak melakukan konfirmasi, tidak mencermati konteks, dan substansi materi yang disampaikan Kepala BPIP.
"Sikap mudah mempercayai berita tanpa melakukan "cross check" berbeda haluan politik, berbeda pemahaman agama, bahkan berbeda disiplin keilmuan tersebut menjadikan tidak ada titik temu antara Kepala BPIP dengan para pengkritiknya," katanya.
Kedua, berita bahwa Kepala BPIP ingin dan akan mengganti salam keagamaan umat Islam dengan Salam Pancasila sama sekali tidak benar karena Kepala BPIP hanya mengusulkan perlunya salam kebangsaan yang bisa menjadi titik temu semua agama, serta bisa diterima masyarakat Indonesia.
Ketiga, ada beberapa alasan yang menjadikan Kepala BPIP mengusulkan perlunya salam kebangsaan 'Salam Pancasila' sebagai salam di ranah publik, di antaranya perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hukum mengucapkan salam lintas agama dengan memakai redaksi enam agama.
"Kepala BPIP ingin agar di ranah publik ada salam yang bisa menjadi titik temu semua agama, serta bisa diterima masyarakat Indonesia. Usulan ini menjadi paripurna jika dilegitimasi dan dilegalisasi melalui ijmak Indonesia seperti yang dipahami Prof Yudian Wahyudi," katanya.
Sedangkan Dosen Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Yogyakarta Munawar Ahmad mengatakan, bahwa sapaan 'Salam Pancasila' sebagai "greeting" dari agama yang plural, budaya yang plural, dan komunitas plural yang ada di Indonesia untuk mencapai ketahanan komunikatif berdasar teori Hebermas.
"Salam Pancasila sebagai Salam Kebangsaan ini perlu terus disosialisasikan karena menyerukan persatuan yang diperintahkan oleh Allah SWT," kata Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila yang juga Staf Ahli MPR RI Syaiful Arif.