Membangun ketahanan air di Gunungkidul, DIY

id Gunungkidul,Ketahanan air bersih,Krisis air Oleh Sutarmi

Membangun ketahanan air di Gunungkidul, DIY

Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gunungkidul merevitalisasi telaga untuk menjaga ketahanan air bersih. ANTARA/HO-Dok. Komunitas Resan Gunungkidul

Gunungkidul (ANTARA) - Krisis air pada musim kemarau merupakan siklus yang selalu terulang di Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Pemandangan antrean warga menerima bantuan air bersih hingga warga harus berjalan belasan kilometer mencari air di sumber mata air setiap musim kemarau menjadi kejadian yang wajar dam rutin.

Dari tahun ke tahun, keadaan seakan tidak berubah. Berbagai upaya telah dilakukan, baik oleh Pemerintah, swasta, maupun masyarakat. Namun masalah air di Gunungkidul seakan tidak ada ujung dan pangkalnya. Menjadi agenda rutin tahunan dan intensitas serta sebaran wilayah kekeringan justru makin meluas.

Warga Padukuhan Ngipik, Kalurahan Tegalrejo, Kapanewon Gedangsari, Sularni menceritakan setiap musim kemarau, dirinya harus berjalan 1 jam untuk mendapat air bersih karena sumur di rumahnya sudah kering atau "asat". Bantuan air bersih dari Pemerintah dan swasta tidak akan mampu mencukupi kebutuhan air bersih setiap harinya.

Sumber air bersih yang ada di kawasan tersebut terletak di bawah perbukitan. Lokasi sumber mata air dapat ditempuh dengan sepeda motor, namun biaya beli bahan bakar minyak (BBM) mahal sehingga dirinya memilih jalan kaki selama 1 jam.

"Bantuan air bersih cepat habis karena hampir semua warga Ngipik kekurangan air bersih. Mau tidak mau warga harus cari air bersih," kata Sularni.

Ia dan keluarganya tidak sanggup membeli air bersih dari swasta untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Harga satu tangki air kapasitas 5.000 liter, sampai ke rumahnya, Rp300 ribu.

Air 5.000 liter itu hanya mencukupi kebutuhan air untuk sehari-hari dan ternak hanya bertahan kurang dari 1 bulan. Setiap tahun, krisis air selama 3 bulan. Pada 2023, krisis air malah hampir 5 bulan.

Terkadang, ada warga yang menjual hewan ternak untuk membeli air bersih setiap musim kemarau agar mereka tetap bisa bertahan dan memenuhi kebutuhan air bersih bagi keluarganya.

Oleh karena itu, warga berharap di wilayahnya dibangun jaringan air bersih dari sumber mata air yang dikelola masyarakat atau PDAM, atau bantuan sosial dari pemkab untuk membeli air saat krisis air bersih.


Aksi penanaman pohon

Topografi wilayah Gunungkidul yang berbukit menjadi kendala tersendiri dalam mengatasi masalah air bersih. Secara geografis, Gunungkidul dibagi dalam tiga zona besar berdasarkan karakter air setiap zona berbeda.

Pemetaan zona karakter air ini mempermudah mengatasi persoalan air di Gunungkidul  sehingga menjadi sangat penting mengetahui siklus hidrologinya. Berdasarkan karakteristik bentang alam yang ada, sumber air bersih di Kabupaten Gunungkidul berasal dari air permukaan dan air bawah tanah. Hal tersebut disampaikan aktivis Komunitas Resan Gunungkidul Edi Padmo.

Tiga zona di Gunungkidul berdasarkan karakter air, yakni zona utara yang terdapat banyak mata air, sungai permukaan, dan sumur dangkal,  sedangkan sumur dalam relatif sulit ditemukan karena bukan wilayah cekungan air tanah.

Zona Ledoksari Tengah yang merupakan wilayah cekungan air tanah, tersedia sumur dangkal maupun dalam dan juga sungai di permukaan.

Zona selatan didominasi wilayah bentang alam karst. Ciri morfologi dan topografinya adalah daerah berbukit yang cenderung tandus dan kering sehingga air permukaan sulit ditemui. Sifat batuan karst yang mempunyai resapan tinggi terhadap air, maka di daerah ini banyak terdapat aliran sungai bawah tanah.

Di zona selatan ini banyak terdapat sumber air dengan debit yang sangat besar. Empat reservoir utama yang digunakan PDAM Tirta Handayani ada di zona selatan, yakni Bribin, Seropan, Baron, dan Renehan.

Namun, kedalaman sumber air bawah tanah dengan debit besar yang ada di wilayah selatan Gunungkidul juga menjadi salah satu kendala PDAM.

Edi Padmo yang sudah lama melakukan gerakan penanaman pohon itu menyatakan untuk mengatasi krisis air diperlukan perawatan vegetasi daerah permukaan tangkapan air hujan dan kawasan karst. Ikhtiar ini amat menentukan lestari tidaknya cadangan dan ketersediaan air bawah tanah.

Oleh karena itu, semua pihak harus mengupayakan hal ini dengan serius. Jika daerah permukaan rusak, cadangan air bawah tanah Gunungkidul akan berkurang, bahkan lambat laun akan habis.

Untuk itu, diperlukan penghijauan dengan menggerakkan penanaman pohon secara masif di lahan-lahan tandus hingga pelestarian sumber mata air dengan menjaga lingkungannya.

Krisis air tidak bisa hanya diatasi dengan optimalisasi sumber mata air di bawah tanah atau pengolahan air laut untuk dikonsumsi atau bantuan air bersih setiap tahunnya. Hal ini hanya bersifat sementara, apalagi anggaran yang dibutuhkan juga sangat besar.

Krisis air setiap musim kemarau menjadi tanggung jawab bersama. Pemerintah, swasta, dan masyarakat wajib menjaga ketahanan air di wilayah sesuai peranan masing-masing.

Aksi nyata atasi krisis air adalah penanaman pohon dan pelestarian sumber mata air di lingkungan sekitar.

Mengatasi krisis air tahunan, Dinas Lingkungan Hidup Gunungkidul juga melakukan penanaman pohon di kawasan telaga yang tersebar di 18 kapanewon (kecamatan). Harapannya penghijauan ini bisa menjaga sumber mata air di kawasan telaga.

Telaga, bagi masyarakat Gunungkidul, sangat strategis. Airnya dimanfaatkan untuk mencukupi air ternak, mandi, hingga mencuci.

Telaga air bermanfaat untuk mengatasi kebutuhan air bersih masyarakat untuk jangka pendek.

"Kami melakukan revitalisasi kawasan telaga yang ada di Gunungkidul supaya  sumber mata air ini tetap terjaga," kata Kepala DLH Gunungkidul Harry Sukmono.


Sumber air bawah tanah

Pemkab Gunungkidul memanfaatkan sumber air Bribin, Seropan, Ngobaran, dan Baron untuk memenuhi kebutuhan air bersih. Setiap sumber mata air dikelola dengan sistem masing-masing, yakni Sistem Bribin,  Seropan,  Ngobaran, dan Sistem Baron.

Sistem Bribin mengairi wilayah selatan hingga timur atau mulai dari Kecamatan Tanjungsari, Tepus, Rongkop, Girisobo dan Semanu. Sistem Baron mengairi Kecamatan Tanjungsari, Panggang, Saptosari, dan sebagian Palihan.

Selanjutnya, Sistem Baron memiliki debit mencapai 5.000 liter per detik saat musim hujan karena merupakan muara sungai dari berbagai sungai bawah tanah di wilayah Gunungkidul.

Kemudian, Sistem Ngobaran melayani kebutuhan air bersih di Kecamatan Playen, Palihan dan sebagian Saptosari. Sistem Seropan melayani kebutuhan air bersih di Kecamatan Karangmojo, Wonosari, sebagian Ponjong dan Wonogiri, Jawa Tengah. Debit air produksi Seropan mencapai 250 liter per detik, tetapi baru dimanfaatkan sekitar 180 liter per detik. Rencana awal, kebutuhan air di Kecamatan Karangmojo, Wonosari, dan sebagian Ponjong sebanyak 120 liter per detik dan sisanya dijual ke Wonogiri, Jawa Tengah.

Kondisi debit air saat musim kemarau di Sistem Seropan mencapai 600 liter per detik, dan saat musim hujan dapat mencapai 2.500 liter per detik.

Namun, sumber mata air tersebut belum sepenuhnya mampu mencukupi kebutuhan air bersih masyarakat karena anggaran untuk mengoptimalkan pengangkatan air bersih tersebut cukup besar.

Pemkab Gunungkidul berupaya mencari sumber mata air dan pendanaan dari Pemerintah Pusat untuk mengoptimalkan sumber mata air dan sungai bawah tanah guna mencukupi kebutuhan air bersih masyarakat dan pengairan persawahan.

Kepala Bappeda Gunungkidul Arif Aldian mengatakan Pemkab Gunungkidul sudah mengupayakan pendanaan optimalisasi pemanfaatan sumber air bawah tanah (ABT) untuk mencukupi kebutuhan air bersih masyarakat melalui PDAM Tirta Handayani.

Saat ini, ada perbaikan dan desain ulang bendungan bawah di Bribin II atau Sindon di Kalurahan Dadapayu, Semanu, yang rusak beberapa tahun lalu akibat Badai Cempaka.

"Sejak Badai Cempaka sampai sekarang, Bribin II tidak dioperasikan. Jadi semua perlu dicek ulang. Kami mengupayakan Sindon dapat dioperasikan kembali sehingga dapat membantu mengatasi krisis air di Gunungkidul," kata Wardani.

Dam Bribin II bawah tanah perlu ditinjau desain dengan kebutuhan anggaran perbaikan membutuhkan sebesar Rp45 miliar.

Dioperasikannya Sindon dapat mengatasi masalah ketahanan air bersih wilayah zona selatan pada saat musim kemarau.

"Kami sudah menyampaikan ke Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak. Untuk jangka pendek, yang masih bagus kita amankan dan yang rusak kita perbaiki, karena kalau untuk mengganti, biayanya tinggi sekali," kata Arif.

Anggota Satker BBWSSO Wardani mengatakan kerusakan bendungan saat ini akibat banjir Badai Cempaka 2017. Kerusakan cukup banyak, salah satunya jalur utama sehingga tidak berfungsi.

Adapun pengangkatan air menggunakan sistem mikrohidro dengan cara membuat bendungan di aliran sungai bawah tanah. Adapun caranya harus dibor sedalam 104 meter.

Sistem ini tidak memerlukan listrik untuk memompa air bersih sampai permukaan. Turbin digerakkan oleh air itu sendiri.

 

Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Membangun ketahanan air di Gunungkidul