Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah menilai saat ini tak lagi relevan untuk mendikotomikan nasionalisme dan agama.
"Tak lagi tepat mendikotomikan nasionalisme dengan agama, agama dengan nasionalisme, karena pada hakikatnya nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang religius," kata Basarah dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu.
Menurutnya, Bung Karno sebagai pendiri bangsa pun banyak meninggalkan warisan tentang keislaman meski dikenal sebagai tokoh nasionalis.
"Bung Karno yang oleh sejumlah kalangan disebut sebagai tokoh nasionalis, pada pemikiran dan legasinya justru menunjukkan dimensi keagamaan begitu sangat kuat," ujarnya.
Basarah menjelaskan Bung Karno mempelajari Islam secara mendalam sejak remaja atau tepatnya ketika Sang Proklamator itu dititipkan di rumah tokoh pimpinan islam, Haji Umar Said Tjokroaminoto.
"Di sana lah Bung Karno digembleng ajaran dan pemikiran Islam," ungkap Basarah dalam peringatan Nuzulul Quran yang digelar Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi), organisasi sayap PDIP, di Masjid At Taufiq, Jakarta, Jumat (29/3).
Bung Karno juga, sambung dia, mengakui Kiai Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah adalah guru utama yang dia ikuti.
Lalu, Bung Karno juga pernah berguru dengan Kiai Ahmad Hasan di Bandung.
"Ketika Bung Karno dibuang belanda ke Ende, tepi pantai yang sepi, Bung Karno melanjutkan pemikiran islamnya dengan melakukan yurisprudensi dengan Kyai Ahmad Hasan di Bandung, yang surat-surat itu sekarang sudah dibukukan," tambahnya.
Kemudian, saat Bung Karno dibuang ke Bengkulu, ia juga bertemu banyak tokoh Islam di sana. Adapun untuk pertama kalinya Soekarno memutuskan masuk organisasi Muhammadiyah.
Diketahui, Bung Karno diangkat jadi ketua majelis pengajaran di Muhammadiyah Bengkulu tahun 1938-1942.
"
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Ahmad Basarah sebut tak relevan mendikotonomikan nasionalisme-agama