Ada yang mengusulkan agar Bulog kembali menjadi lembaga otonom di bawah Presiden, membebaskannya dari status Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Sementara itu, ada pula yang menginginkan Bulog tetap sebagai BUMN yang profesional dan tangguh, sehingga dapat berkembang menjadi "raksasa bisnis pangan" yang berkontribusi signifikan bagi perekonomian nasional.
Perbedaan pandangan ini wajar terjadi. Baik sebagai lembaga otonom maupun sebagai BUMN, Bulog memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Namun, jika melihat arah kebijakan yang berkembang, tampaknya Presiden Prabowo lebih condong mengembalikan Bulog menjadi lembaga otonom pemerintah.
Selama 21 tahun berstatus sebagai BUMN, kinerja Bulog belum sepenuhnya mencerminkan keberhasilan sebagai perusahaan pangan pemerintah yang membanggakan.
Bahkan, jika ditinjau lebih dalam, belum ada "mahakarya bisnis pangan" yang benar-benar dapat dijadikan teladan.
Baca juga: Asosiasi Gapoktan Kulon Progo menjamin stok gabah aman hingga lebaran
Beberapa pengamat pangan menilai bahwa Bulog lebih banyak berperan sebagai operator pangan yang menjalankan berbagai penugasan dari pemerintah.
Salah satu tugas yang mendapat apresiasi luas adalah kesuksesannya dalam menyalurkan Program Bantuan Beras Langsung kepada 22 juta keluarga penerima manfaat (KPM).
Kebijakan pemerintah yang ingin mengembalikan Bulog ke status lembaga otonom tampaknya akan segera terwujud.
Presiden Prabowo menegaskan bahwa Bulog harus memainkan peran kunci dalam percepatan swasembada pangan, khususnya untuk beras dan jagung pada tahun 2027.
Selain itu, Presiden juga menekankan pentingnya Bulog membangun kemitraan yang lebih realistis dengan petani, bandar, dan tengkulak di pedesaan.
Ke depan, Bulog diharapkan mampu menjadi jembatan yang menghubungkan kepentingan petani dengan para pelaku usaha beras, sehingga terbentuk ekosistem pangan yang lebih berkeadilan.
Baca juga: Prognosa produksi gabah di Bantul pada Februari-April capai 64.245 ton
Baca juga: Luas panen di Sleman pada Februari-April mencapai 13.439 hektare