Guru Besar UGM: UMKM produk olahan ternak harus menguasai pasar domestik

id UMKM,produk olahan ternak,Fapet UGM,tarif AS

Guru Besar UGM: UMKM produk olahan ternak harus menguasai pasar domestik

Guru Besar Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada (Fapet UGM) Suci Paramitasari di Fapet UGM, Sleman, D.I Yogyakarta, Senin (14/4/2025).  (ANTARA/Luqman Hakim)

Yogyakarta (ANTARA) - Guru Besar Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada (Fapet UGM) Suci Paramitasari mengatakan pelaku UMKM sektor olahan ternak harus mampu menguasai pasar domestik menghadapi kebijakan tarif resiprokal 32 persen yang diberlakukan Presiden Amerika Serikat Donald Trump.

"Dunia kan tidak hanya di sana. Jadi, harus lihat juga pasar-pasar yang lain. Paling tidak kita mencoba mencari celah pasar baru," ujar Suci di Kampus Fapet UGM Sleman, DI Yogyakarta, Senin.

Menurut Suci, langkah paling realistis yang bisa ditempuh UMKM saat ini adalah menguasai pasar dalam negeri yang mencapai 281 juta penduduk.

Dia menilai potensi pasar domestik yang besar semestinya menjadi fokus UMKM ketimbang memaksakan diri menembus pasar ekspor yang memiliki regulasi ketat, terutama dalam aspek keamanan pangan.

Salah satu strategi utama yang dia tekankan adalah melakukan sertifikasi produk olahan ternak.

Menurut dia, sertifikasi tidak hanya membuka akses ke pasar yang lebih luas, seperti minimarket dan supermarket, tetapi juga menjadi bukti bahwa produk tersebut aman dikonsumsi.

"Sertifikasi itu untuk mereka (UMKM) supaya bisa tetap eksis. Sekarang minimarket saja sudah menata diri, jadi untuk masuk ke sana ya minimal punya sertifikat," ucap dia.

Ia menyebutkan produk olahan ternak yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan saat ini adalah produk susu.

Namun demikian, UMKM juga harus mampu menunjukkan keunikan produknya agar bisa bersaing dengan produk pabrikan berskala besar.

"Tunjukkan keunikan produk, bahwa dia berbeda, 'home made'. Sekarang banyak anak muda yang menghargai produk lokal. Itu jadi celah yang bisa dimanfaatkan," katanya.

Meski demikian, Suci mengakui masih banyak tantangan dalam mendorong adopsi sertifikasi di kalangan UMKM produk peternakan, seperti minimnya pemahaman tentang pentingnya sertifikasi, biaya proses yang tidak murah, serta keterbatasan informasi dan pendampingan teknis.

"Para pelaku usaha mikro di sektor pengolahan produk peternakan masih enggan mengurus sertifikasi disebabkan oleh kurangnya informasi dan pendampingan yang didapat. Di sinilah peran sektor perguruan tinggi dapat hadir untuk memberikan edukasi dan pendampingan," ujar dia.

Dia juga menyoroti produk-produk pabrikan skala besar sebagai kompetitor utama UMKM lebih efisien dalam produksi dan punya akses terhadap impor bahan baku dengan harga lebih murah.

Untuk itu, Suci mendorong asosiasi dan pelaku usaha menetapkan harga yang wajar agar tetap kompetitif di pasar.

"Kita harus atur harga yang nyaman bagi konsumen dan pelaku usaha. Banyak koordinasi juga perlu dilakukan dengan pemerintah," ujar Guru Besar bidang Pemasaran Produk Peternakan UGM ini.

Prof. Suci berharap UMKM bisa naik kelas melalui peningkatan kualitas produk, sertifikasi dan strategi branding yang tepat.

"Saya mungkin belum bicara ekspor. Tapi paling tidak, saat produk impor masuk, kita sudah siap dengan kekuatan sendiri di pasar lokal," kata dia.

Kepala Laboratorium Agrobisnis Departemen Sosial Ekonomi Fapet UGM Prof. Tri Anggraeni Kusumastuti menegaskan bahwa sertifikasi produk bukan sekadar formalitas administratif.

Menurut dia, sertifikasi adalah bentuk komitmen terhadap standar mutu dan menjadi pembuka pintu bagi pasar yang lebih luas, termasuk ekspor.

"Produsen yang ingin memperluas pangsa pasarnya dapat mengurus sertifikasi produk sebagai syarat-syarat memasuki pasar tersebut," ujarnya.

Pewarta :
Editor: Bambang Sutopo Hadi
COPYRIGHT © ANTARA 2025