Yogyakarta (ANTARA) - Christiano Tarigan, terdakwa kasus kecelakaan lalu lintas yang menewaskan mahasiswa UGM Argo Ericko Achfandi mengaku sejak kecelakaan itu terjadi, dirinya harus menanggung sanksi sosial yang berat, karena tuduhan sebagai pembunuh, pemabuk, pengendara ugal-ugalan, hingga kabur dari tempat kejadian, telah beredar luas dan menimbulkan stigma negatif di masyarakat.
“Berita-berita yang tidak sesuai dengan kenyataan membuat nama baik saya tercoreng dan memengaruhi kehidupan sosial saya," kata terdakwa membacakan pleidoi pribadinya di Pengadilan Negeri Sleman, Selasa (28/10).
Akibat dari tuduhan tersebut, lanjut Christiano, dirinya kehilangan kesempatan melanjutkan pendidikan dan mengejar cita-cita yang telah lama diperjuangkan.
“Sanksi sosial ini tidak hanya saya rasakan secara pribadi, tetapi juga berdampak pada keluarga saya yang ikut menanggung beban moral dan tekanan dari lingkungan sekitar,” lanjutnya, di hadapan majelis hakim yang diketuai Irma Wahyuningsih.
Pada kesempatan itu, Christiano menyampaikan penyesalan mendalam atas peristiwa kecelakaan tersebut dan keluarganya juga telah beberapa kali mencoba meminta maaf secara langsung kepada keluarga korban, namun belum mendapat kesempatan bertemu.
“Saya memohon diberi ruang untuk memperbaiki diri,” katanya.
Di hadapan majelis hakim, terdakwa memohon keringanan hukuman dan menegaskan kecelakaan di Jalan Palagan, Yogyakarta, pada 24 Mei lalu terjadi tanpa niat dan bukan akibat kelalaiannya.
“Sesaat setelah kecelakaan, saya tidak melarikan diri. Saya menghampiri korban, memeriksa keadaannya, dan mencari pertolongan,” ujar terdakwa, yang juga memastikan proses pemulasaraan jenazah dan membantu keluarga korban dalam pemulangan.
Mahasiswa Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM yang kini sudah mengundurkan diri itu mengaku hidupnya berubah total setelah peristiwa tersebut, seperti harus membatalkan rencana kuliah di Universitas Groningen, Belanda, yang semula dijadwalkan Agustus hingga Desember tahun ini.
“Banyak yang mengatakan keadilan tidak berpihak pada saya, tapi saya percaya Tuhan memberi ujian agar saya belajar lebih kuat dan bertanggung jawab,” ucapnya.
Ia juga menceritakan latar belakang keluarganya, bahwa ia adalah anak kedua dari tiga bersaudara, dengan kakaknya memiliki kebutuhan khusus, sedangkan adiknya tengah kuliah di Universitas Indonesia.
“Sebagai anak laki-laki yang dituakan, saya memikul tanggung jawab besar terhadap keluarga,” ujarnya.
Tim penasihat hukum Christiano yang dipimpin Achiel Suyanto menilai perkara ini telah bergeser dari proses hukum objektif menjadi pengadilan opini publik dan menurut anggota tim, Diana Eko Widyastuti, pemberitaan yang tidak berimbang dan tekanan media sosial telah memengaruhi persepsi publik terhadap kliennya.
“Klien kami sudah lebih dulu dinyatakan bersalah oleh pengadilan media sosial sebelum fakta hukum terungkap di persidangan,” ujarnya.
Diana menegaskan asas praduga tak bersalah harus tetap dijunjung. Tim hukum juga menolak dakwaan jaksa yang menjerat Christiano dengan Pasal 310 ayat (4) atau Pasal 311 ayat (5) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Mereka menilai tidak ada bukti bahwa terdakwa mengemudi ugal-ugalan atau di bawah pengaruh alkohol.
Beberapa saksi, kata mereka, justru menyebut korban tidak mengenakan helm dan berada sangat dekat dengan marka tengah jalan. Dalam pembelaannya, tim hukum memohon agar majelis hakim menerima pleidoi secara keseluruhan, menyatakan perbuatan Christiano bukan tindak pidana, serta membebaskannya dari segala tuntutan hukum.
“Dalam kasus kecelakaan lalu lintas, tidak semua peristiwa otomatis memenuhi unsur pidana. Harus ada sebab-akibat yang nyata dan bukti kelalaian,” ujar tim pembela dalam nota pleidoi. Mereka juga mempersoalkan ketiadaan rambu batas kecepatan di lokasi kejadian, yang seharusnya menjadi dasar objektif dalam menilai pelanggaran.
Tim hukum turut meminta majelis hakim mempertimbangkan sisi kemanusiaan terhadap terdakwa yang berusia 21 tahun dan telah menyesali kejadian yang mengakibatkan trauma berat sejak hari pertamanya usai peristiwa naas tersebut.
Majelis hakim memberikan kesempatan kepada jaksa penuntut umum untuk membacakan replik pada Rabu, 29 Oktober 2025.
