Sleman lestarikan budaya "wiwit" saat panen padi

id sleman lestarikan budaya

Sleman lestarikan budaya "wiwit" saat panen padi

Ilustrasi aneka makanan dan minuman yang dibagikan pada tradisi budaya "wiwit" (Foto tembi.org)

Sleman (Antara Jogja) - Pemerintah Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, berupaya terus melestarikan budaya masyarakat mengadakan perayaan "wiwit" atau membagikan makanan khas di area sawah saat akan memulai panen padi.

"Perayaan `wiwit` sebagai salah satu kekayaan budaya patut dipertahankan agar tradisi dan akar budaya tradisional masyarakat dapat juga dinikmati masyarakat dan anak-cucu kita," kata Bupati Sleman Sri Purnomo saat pelaksanaan wiwit padi Organik di bulak Pepen, Desa Trimulyo, Sleman, Selasa.

Menurut dia, perayaan "wiwit" sebagai salah satu upacara awal memanen padi juga merupakan satu upaya menjunjung kearifan lokal.

"Perayaan `wiwit` ini masih dipertahankan masyarakat Sleman sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan atas panen yang berlimpah sehingga Sleman mampu mempertahankan predikatnya sebagai gudang berasnya Provinsi DIY," katanya.

Ia mengatakan, untuk mempertahankan produksi beras di Sleman, menghadapi tantangan yang sangat berat. Terlebih lagi luas lahan pertanian yang ada di Sleman ini dari tahun ke tahun semakin menyusut.

"Dengan demikian, pelaksanaan panen raya padi sebagai hasil dari penerapan teknologi pertanian organik ini dapat memotivasi kelompok-kelompok tani lainnya untuk mengoptimalkan produksinya," katanya.

Sri Purnomo mengatakan, selama 2007 sampai dengan 2012, Kabupaten Sleman masih mampu mempertahankan predikat sebagai lumbung beras di Provinsi DIY. Surplus beras pada tahun 2012 sebanyak 109.724 ton dengan produksi padi sawah pada tahun 2012 mencapai 311.378 ton dan padi ladang mencapai 1.437 ton.

"Meskipun kondisi surplus beras ini menjadikan Sleman saat ini dalam posisi aman, janganlah membuat puas. Kita tetap perlu mewaspadai kemungkinan terjadinya paceklik pangan," kata Bupati.

Hal itu, lanjut dia, terkait dengan adanya perubahan dan pergeseran musim dan cuaca yang dapat menyebabkan perubahan jadwal masa tanam padi dan terganggunya produktivitas lahan.

Ia mengatakan bahwa salah satu upaya untuk mengantisipasi terjadinya paceklik adalah mengefektifkan kembali lumbung-lumbung pangan di desa-desa. Lumbung ini disiapkan untuk menampung produksi padi dari petani yang disiapkan untuk mengantipasi paceklik pangan.

Selain itu, kata dia, lumbung pangan juga merupakan upaya untuk melakukan revitalisasi budaya masyarakat berupa kearifan lokal layaknya upacara "wiwit".

Lumbung pangan adalah kekayaan budaya yang bukan hanya merupakan tempat penyimpanan pangan namun juga merupakan wujud kegotongroyongan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasar.

Untuk itu, dia berharap keberadaan lumbung pangan di suatu desa tidak hanya secara fisik, tetapi juga terdapat suatu sistem yang mengatur penyimpanan, distribusi pangan, dan lain sebagainya.

"Dengan demikian, kearifan lokal yang kita miliki benar-benar memiliki nilai lebih untuk di-`uri-uri` atau dilestarikan," katanya.

Hadir dalam kesempatan tersebut antara lain GKR Pembayun, GKR Condro Kirono, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sleman Untoro Budiharjo.

Sementara itu, G.K.R. Pembayun dalam kesempatan tersebut antara lain menyampaikan bahwa beras merah dan hitam perlu dikembangkan mengingat harganya yang relatif cukup tinggi. Disamping itu, dalam penerapan pertanian organik dan alami perlunya penerapan pranoto mongso.

"Yang jelas dengan lahan yang semakin sempit tersebut, bagaimna meningkatkan produksi yang baik dan banyak, tentunya dengan menciptakan teknologi baru. Dan, jangan lupa generasi muda/petani mampu mempertahankan lahan pertanian," katanya.

(V001)
Pewarta :
Editor: Masduki Attamami
COPYRIGHT © ANTARA 2024