Film "The Batman", babak baru pencarian jati diri pahlawan Gotham

id batman,robert pattinson,the batman

Film "The Batman", babak baru pencarian jati diri pahlawan Gotham

The Batman (HO/Warner Bros)

Jakarta (ANTARA) - Setiap orang melewati proses pendewasaan dan pencarian jati diri. Tak terkecuali Bruce Wayne.

Bruce Wayne alias Batman versi Robert Pattinson adalah babak baru dari kisah Batman yang sudah diperankan oleh sederet aktor seperti Adam West, Val Kilmer, Michael Keaton, Christian Bale dan Ben Affleck. “The Batman” membawa kita mundur ke masa ketika Bruce Wayne baru dua tahun beraksi memakai topeng dan jubah Batman dan berpatroli di Gotham City.

Kriminal kelas teri yang dia hadapi sehari-hari. “Aku adalah pembalasan,” Batman memperkenalkan diri kepada geng pembawa onar sebelum mereka kocar-kacir. Namanya di sini memang belum tenar. Sosoknya yang misterius malah membuat banyak polisi curiga, kecuali James Gordon (Jeffrey Wright).

Ketika topeng dibuka, Bruce Wayne adalah seorang penyendiri yang enggan bergaul. Jauh dari kesan playboy yang digambarkan Bruce Wayne di versi terdahulu, Bruce di film ini lebih sering menutup diri akibat tragedi yang menimpa keluarganya. Konsentrasinya difokuskan saat dia beroperasi sebagai Batman, memangsa para kriminal yang berbuat sesuka hati di kota Gotham yang suram.
The Batman (HO/Warner Bros)


Ada misteri yang menanti Batman lewat serangkaian pembunuhan yang dilakukan oleh sosok bernama Riddler (Paul Dano). Kematian walikota Gotham menimbulkan pernyataan besar, apalagi di tempat kejadian terselip amplop berisi “surat cinta” untuk Batman berisi teka-teki yang penuh misteri. Sesuai namanya, Riddler meninggalkan pertanyaan-pertanyaan yang secara khusus ia tinggalkan untuk Batman. Bagaikan bola salju, satu petunjuk bergulir ke teka-teki lain, membawa Batman untuk menyelidiki kasus yang lebih besar sekaligus mengungkap apa yang diinginkan Riddler darinya.

Cerita detektif adalah sisi lain yang ditonjolkan dari “The Batman”. Maka pantaslah Riddler (Paul Dano) yang dipilih sebagai tokoh antagonis. Paul Dano sukses membawakan karakter yang diam-diam berbahaya meski penampilan aslinya jauh dari garang. Sama seperti Batman, Riddler juga lahir dari trauma dan luka masa lalu, namun dia memilih jalan yang berbeda.

Dengan durasi hampir tiga jam, ada banyak petunjuk yang harus dipecahkan untuk mencegah kerusakan yang lebih besar, juga banyak tokoh yang bermunculan, juga cerita yang harus dicerna. James Gordon tak cuma jadi rekan, dia juga berusaha melindungi Batman dari polisi-polisi lain yang tak mempercayai Batman. Mereka belum sepenuhnya saling percaya, tapi mau tak mau saling membantu karena sulit mempercayai lingkungan di sekitarnya.

“Kita melihat ada awal dari semacam kemitraan yang terbentuk saat mereka menyadari ada penjahat yang meninggalkan petunjuk. Ini membantu mendorong narasi detektif semakin dalam ke inti film dan membawa kita ke inti dari siapa Batman dan Gordon: detektif,” kata Pattinson.

Petunjuk dari rumah walikota menunjukkan ke arah klub malam yang dikelola Penguin -Colin Farrell sungguh membuat pangling berkat riasan prostetik yang memakan waktu tiga jam- Batman bertemu Selina Kyle (Zoë Kravitz) yang awalnya tak diketahui statusnya, teman atau lawan. Ketika tebak-tebakan Riddler mulai mengarah langsung ke keluarga Wayne, Batman kian terdesak untuk menemukan jawaban. Muncullah nama biang penjahat Carmine Falcone (John Turturro) ke permukaan. Bersama Gordon dan Catwoman, yang punya agenda tersendiri, Batman mencoba menguak fakta sekaligus mencari jawaban dari tragedi yang menimpa keluarganya.

Sulit untuk bisa optimistis saat hidup di Gotham. Nuansa sendu ini dibantu dengan visual yang jauh dari warna-warni mencolok. Kebanyakan adegan di malam hari, gelap dan tak jarang disertai rintik hujan. Tapi kegelapan ini juga membuat cahaya dari senjata-senjata yang ditembakkan ke arah Batman dalam satu adegan menjadi salah satu momen sangat memikat, terutama saat ditonton di layar lebar.

 

Apa yang diperlihatkan Pattinson berhasil mematahkan keraguan mereka yang sangsi ketika mengetahui peran Batman jatuh kepadanya. Pattinson berhasil memberikan napas baru kepada Batman yang disorot dari sisi lain. Sutradara Reeves ingin menciptakan karakter yang menggetarkan aura bintang rock-and-roll, gabungan antara Kurt Cobain dan Howard Hughes.

Bruce tidak lagi mencerminkan anggota keluarga Wayne yang bergelimang harta, Reeves mengatakan Bruce di film ini seperti bintang rock, bedanya dia tidak manggung saat malam tiba, melainkan terobsesi menjadi Batman. Bruce yang kaya raya tapi tak bahagia menguarkan nuansa suram, dia tak punya keluarga atau sahabat, tak juga berusaha bersosialisasi dengan orang lain. Semangatnya hanya membara ketika mengenakan topeng dan jubah Batman. Intensitas tersebut berhasil diwujudkan oleh Robert Pattinson di sini.

Bruce Wayne punya ikatan unik dengan Alfred (Andy Serkis) yang bertugas sebagai kepala pelayan sekaligus figur ayah untuk Bruce yang yatim piatu. Interaksi antara Bruce dan Alfred memberi celah mengintip sisi manusiawi dari Batman.

Sebagai Selina Kyle dan cikal bakal Catwoman, Zoë Kravitz menggambarkan karakter yang sekilas terlihat lemah tapi sebetulnya tak bisa diremehkan. Chemistry “the bat and the cat” terasa dalam pertemuan pertama penuh koreografi laga yang apik, tapi di sisi lain sangat terasa “flirty”. Lincah bak kucing, Selina dengan koleksi wig sebagai samaran bisa masuk ke tempat yang tak sembarang orang bisa datang.

Walau belum menjelma menjadi Catwoman, kehidupan Selina yang tangguh karena masa lalu pahit sudah bersentuhan dengan kucing. Contohnya, detail manis di topi rajut yang ujungnya serupa telinga kucing buatan perancang kostum Jaqueline Durran, serta kucing-kucing liar yang menetap di apartemennya. Kelanjutan kisah antara Batman dan Catwoman menarik untuk dinantikan setelah mengetahui apa pendapat Selina tentang Bruce dan Batman. Kehadiran Selina memberi sedikit warna dalam hidup Batman, meski hubungan mereka menurut Zoë lebih dapat dideskripsikan sebagai “cat and mouse” (kucing dan tikus).

Sutradara Reeves berusaha untuk menciptakan dunia terlihat realistis.

Tidak ada invasi alien atau makhluk luar angkasa lain di sini. Rasanya semua yang terjadi memang betul-betul ada di dunia kita. Peralatan canggih Batman juga diupayakan terlihat canggih tapi masih masuk akal, sesuatu yang sepertinya bisa dibuat oleh teknologi dan tentunya dana keluarga Wayne.

Batsuit dan Batmobile yang gahar sengaja dibuat seperti didesain oleh satu orang saja, yakni Batman itu sendiri. Batsuit versi Robert Pattinson dibuat praktis, dilengkapi aneka senjata dan pelindung, hingga logo kelelawar yang berfungsi juga sebagai pisau. Kostumnya pun tidak mulus, terlihat bekas perkelahian dan goresan peluru di topengnya. Satu lagi, riasan warna hitam di sekeliling mata Bruce yang terlihat ketika Batman membuka topengnya.

Adegan-adegan penuh aksi diambil dari sudut pandang kamera yang stabil, tidak bergoyang-goyang, karena Reeves memposisikan kamera hampir seperti pengamat yang netral sehingga penonton takkan pusing atau kebingungan melihat shot yang terlalu bergoyang. Dari segi suara dan musik, komposer Michael Giacchino menciptakan suasana di mana penonton bisa melihat sudut pandang dari tokoh dalam film.

Ibarat fase kehidupan, Batman versi Robert Pattinson bisa dibilang seperti remaja yang sedang beranjak dewasa dan sedang bergulat dalam perjuangan mencari jati diri. Citra Cedric Diggory idola dari Hupplepuff di film “Harry Potter” dan Edward Cullen si vampir dengan kulit bercahaya di film “Twilight” yang membuat nama Pattinson meroket langsung sirna begitu melihat aksinya sebagai Bruce Wayne dan Batman di sini.

Menarik rasanya melihat Batman masih dalam fase “training” di sini. Sekilas masih ada rasa panik di saat keadaan sedang genting, juga emosi yang belum sepenuhnya tertata rapi, rentan melewati batas. Versi Batman yang belum sempurna ini adalah sebuah awal baru untuk Batman, memberikan ruang bertumbuh yang bisa dieksplorasi di film selanjutnya.
Pewarta :
Editor: Victorianus Sat Pranyoto
COPYRIGHT © ANTARA 2024