UNESCO mendorong inklusivitas dan keberagaman di dunia perfilman di Asia Tenggara

id unesco

UNESCO mendorong inklusivitas dan keberagaman di dunia perfilman di Asia Tenggara

Para peserta lokakarya GESI. ANTARA/HO-BPI

Yogyakarta (ANTARA) - United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) dan Badan Perfilman Indonesia (BPI) menyelenggarakan lokakarya regional di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, pada 1-3 Agustus 2023 untuk mengintegrasikan inklusivitas gender dan isu sosial dalam pembuatan film dan memperkuat jaringan film regional di wilayah Asia Tenggara.

Acara ini merupakan bagian dari proyek "Mobilizing Film Professionals for Regional Cooperation in Asia", yang diluncurkan pada tahun 2019 di Indonesia, Thailand, dan Vietnam untuk mempromosikan inklusivitas, kesetaraan, dan keberagaman dalam industri film.

Lokakarya ini mengumpulkan perwakilan sektor audiovisual dari lima negara peserta, yakni Brunei Darussalam, Indonesia, Filipina, Thailand, dan Vietnam.

Sebagai Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang bertanggung jawab untuk menjaga dan mempromosikan keberagaman ekspresi budaya untuk pembangunan berkelanjutan, UNESCO, melalui lokakarya ini, mendorong kolaborasi di antara dewan film, pembuat film, dan pemangku kepentingan industri film di Asia Tenggara, dan untuk memastikan inklusivitas dan keterwakilan di dunia perfilman baik di dalam layar maupun di balik layar.

"Indonesia berada di garis depan dalam hal merefleksikan bagaimana mengintegrasikan suara-suara yang kurang terwakili di sektor audio-visual. Pada saat yang sama, perempuan kurang terwakili dalam peran pengambilan keputusan kreatif dalam industri film. Persentase keterwakilan perempuan dalam sektor ini meliputi 20 persen untuk kategori penulis naskah, 19 persen untuk kategori produser, dan 7 persen untuk kategori sutradara," kata kata Toussaint Tiendrebeogo, Chief of the Diversity of Cultural Expressions Entity di UNESCO, merujuk pada Studi KAFEIN 2020.

Dalam lokakarya ini para peserta membahas tantangan, peluang, dan pencapaian dalam memastikan konten film inklusif di wilayah tersebut. Agenda ini juga mencakup diskusi tentang alat dan strategi, mulai dari kurikulum sekolah film inklusif hingga manajemen kru dan pencari bakat, serta aksesibilitas dan keterlibatan penyandang disabilitas.

"Proyek ini telah membuat langkah penting dalam mempromosikan inklusivitas, kesetaraan, dan keberagaman dalam industri film Asia Tenggara dan sekitarnya," kata Maki Katsuno-Hayashikawa, Director and Representatif UNESCO Office in Jakarta.

"UNESCO bangga menjadi tuan rumah bersama dalam lokakarya ini, dan berkomitmen untuk menjalin ikatan sinematik di kawasan ini dan menciptakan platform untuk pertukaran praktik-praktik dan pengalaman yang baik," katanya.

Pedoman dan Silabus Kesetaraan Gender dan Inklusi Sosial (GESI) untuk sekolah film dan profesional film Indonesia telah dikembangkan dan diuji melalui serangkaian lokakarya pada tahun 2022. Modul yang dihasilkan menawarkan berbagai ide yang bisa diterapkan dalam pendidikan formal para profesional film di masa depan.

"Hal ini bertujuan menumbuhkan pembuat film yang sadar dan responsif terhadap ketidaksetaraan gender, sehingga mereka dapat memprioritaskan inklusi sosial dalam pekerjaan mereka untuk mendorong industri film yang beragam," kata Tito Imanda, Kepala Penelitian dan Pengembangan, Badan Perfilman Indonesia (BPI).

"Film-film pendek yang diproduksi akan bisa menjangkau lebih jauh lagi jika dalam pembuatan proyek-proyeknya diberikan kesempatan dan bimbingan lebih banyak serta mendapatkan akses pendanaan yang cukup," kata Trinh Dinh Le Minh, Sutradara Film dari Vietnam.

Program UNESCO yang dilakukan di Indonesia, Thailand, dan Vietnam ini juga mencakup pembuatan panduan Kesetaraan Gender dan Inklusivitas Sosial (GESI) untuk sekolah film dan lokakarya film yang diharapkan memberikan kontribusi terhadap industri audiovisual yang berkelanjutan di wilayah ini.

Program ini juga menggunakan jaringan dan platform yang ada untuk memperkuat industri film di Asia Tenggara dengan membangun kapasitas pembuat film, pendidik film serta cendekiawan, dan pembuat kebijakan film untuk kesetaraan gender yang lebih sensitif dan kesadaran inklusi sosial di bioskop.