FKH UGM desak RUU PKH segera disahkan menjadi UU

id fkh ugm,ruu pkh

FKH UGM desak RUU PKH segera disahkan menjadi UU

Jajaran Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Universitas Gadjah Mada (UGM) saat menerima kunjungan DPR RI. (ANTARA/HO-FKH UGM)

Yogyakarta (ANTARA) - Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Universitas Gadjah Mada (UGM) mendesak DPR RI dan pemerintah segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pendidikan Kedokteran Hewan (RUU PKH) menjadi undang-undang.

Dekan FKH UGM Teguh Budipitojo mengatakan RUU PKH tersebut sangat urgen untuk segera disahkan. Salah satunya untuk menghadapi wabah penyakit menular pada hewan.

"Kami ingin segera disahkan, kalau bisa tahun ini tentu sangat membantu sekali bagi kita terutama dalam menata pendidikan kedokteran hewan dan membantu menghadapi wabah penyakit menular pada hewan di Indonesia," kata dia usai bertemu Badan Keahlian DPR RI di FKH UGM Yogyakarta, Jumat.

Ia menjelaskan, berdasarkan data selama 25 tahun terakhir, ada sekitar 12 wabah penyakit menular pada hewan. Wabah tersebut tidak hanya berasal dari penyakit baru, tetapi ada juga penyakit lama yang muncul kembali.

"Data ini berbeda jauh jika dibandingkan dengan pada masa penjajahan Belanda hingga zaman Orde Baru. Selama sekitar 118 tahun, hanya ada sekitar 7 wabah penyakit yang muncul. Jadi, RUU PKH harus segera disahkan menjadi UU," katanya.

Teguh menambahkan, alasan lain yang menjadikan RUU PKH harus segera disahkan adalah terkait belum adanya peraturan perundangan yang menaungi pendidikan tinggi kedokteran hewan secara spesifik.

Saat ini, menurut dia, pendidikan tinggi kedokteran hewan masih mengikuti standar nasional pendidikan tinggi sesuai Permenristekdikti Nomor 44 Tahun 2015 sebagai penjabaran Undang-Undang Pendidikan Tinggi Nomor 12 Tahun 2012.

"Padahal, di kedokteran hewan itu kan sangat spesifik, dan itu belum tercover di situ. Misalnya, regulasi terkait dengan jumlah mahasiswa yang dapat diterima oleh suatu perguruan tinggi kedokteran hewan, itu kan menyangkut berbagai macam infrastruktur yang dimiliki oleh perguruan tinggi itu sendiri," katanya.

Ia menilai selama ini baik perguruan tinggi yang sudah mapan maupun yang baru berkembang diperlakukan sama, tidak ada regulasi, terkait jumlah mahasiswa yang bisa dididik oleh perguruan tinggi itu tidak ada.

Teguh yang juga menjabat Ketua Asosiasi Fakultas Kedokteran Hewan Indonesia (AFKHI) itu menambahkan, persoalan lain yang mendesak adalah terkait akreditasi. Selama ini akreditasi masih menginduk pada Lembaga Akreditasi Mandiri Perguruan Tinggi Kesehatan (LAM PTKes).

"Ujung pendidikan itu kan menghasilkan dokter hewan yang berkualitas. Untuk menghasilkan yang berkualitas, maka standar khusus pendidikan kedokteran hewan harus ada, nah itu belum ada sampai saat ini, sehingga perlu ada satu badan yang menaungi, ada satu undang-undang yang mengatur hal ini," katanya.

Di sisi lain, Indonesia juga belum memiliki apa yang disebut Veterinary Statutory Body (VSB) atau konsil kedokteran hewan Indonesia. Lembaga ini adalah lembaga independen yang mengatur, baik lembaga pendidikan tinggi itu sendiri maupun lulusannya. 

Setelah perguruan tinggi menghasilkan dokter hewan, menurut dia, profesinya itu juga perlu diatur. Apalagi, lembaga sejenis ini menjadi tuntutan organisasi kesehatan hewan dunia, bahwa suatu negara harus memiliki VSB.

"Hampir semua negara ASEAN itu sudah punya. Namun, Indonesia belum punya, padahal katanya kita menjadi leading sector di ASEAN," katanya.

Akibatnya, lanjut dia, pendidikan tinggi kedokteran hewan Indonesia tidak dilibatkan dalam pembahasan penyusunan akreditasi khusus pendidikan tinggi kedokteran hewan di tingkat regional Asia Tenggara sekalipun.

"Oleh karena itu, UU PKH juga diharapkan menjadi salah satu regulasi yang nantinya memberi kewenangan untuk membuat VSB itu," katanya.

Sementara itu, Plt Kepala Pusat PUU Bidang Ekuinbagkesra Wiwin Sri Rahyani mengemukkan saat ini prosesnya masih dalam tahap penyiapan penyusunan RUU di Badan Keahlian DPR.

"Prosesnya masih panjang karena sekarang di internal tim Badan Keahlian DPR dielaborasi menjaring masukan-masukan seluruh stakeholder dan masyarakat dalam konteks meaningful participations," ujarnya.

Menurut dia, nantinya setelah proses di internal Badan Keahlian DPR, selanjutnya dilaporkan ke alat kelengkapan DPR yang terkait, yakni Komisi X. Setelah itu baru dilakukan tahapan pengharmonisasian di Badan Legislasi DPR.

"Kemudian baru ditetapkan menjadi RUU usul dari DPR dan selanjutnya disampaikan ke presiden untuk dibahas bersama dengan pemerintah. Jadi, prosesnya memang masih lumayan banyak yang harus dilalui," katanya.

Oleh karena itu, Wiwin belum bisa memastikan kapan RUU PKH ini akan rampung dan disahkan menjadi UU. Menurut dia, hal itu juga bergantung pada fleksibilitas dan dinamika politik yang sangat dominan.

"Untuk target misalnya pemilu itu pada Februari 2024 dan berakhir pada 1 Oktober 2024 dengan keanggotaan periode baru, harapan kami sebagai supporting system bahwa RUU ini bisa selesai minimal pada akhir masa jabatan anggota DPR periode ini. Mudah-mudahan pada tahun depan dengan segala arah kebijakan politik dari DPR ini menjadi salah satu hal yang diprioritaskan untuk diselesaikan," katanya.