Bupati Gunungkidul sebut Nyadran sedekah tumbuhkan kerukunan di Blarangan

id Tradisi nyadran,Gunungkidul

Bupati Gunungkidul sebut Nyadran sedekah tumbuhkan kerukunan di Blarangan

Bupati Gunungkidul Sunaryanta memberikan pesan kepada warga Barangan dalam upacara tradisi nyadran pada Senin (26/2). (ANTARA/HO-Humas Pemkab Gunungkidul)

Gunungkidul (ANTARA) - Bupati Gunungkidul Sunaryanta menyebut tradisi nyadran sedekah ingkung ayam yang digelar masyarakat Padukuhan Blarangan, Sidorejo di Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, menumbuhkan kerukunan dan kebersamaan.

Sunaryanta di Gunungkidul, Senin, mengatakan tradisi yang berumur ratusan tahun namun masih dilestarikan dapat menumbuhkan kerukunan dan rasa kebersamaan.

"Kami kagum dengan semangat masyarakat di kalurahan ini. Kearifan lokal yang masih dijaga di dalamnya menanamkan nilai kebersamaan dan gotong royong," katanya.

Ia mengatakan banyak tradisi dan budaya di Gunungkidul yang masih dilestarikan. Salah satunya yang digelar di makam Raden Mas Djoyo Dikromo Secucu Ludiro.

"Kami berharap masyarakat tetap melestarikan tradisi lokal karena menumbuhkan kerukunan dan gotong royong," katanya.

Sementara itu, Lurah Sidorejo Sidiq Nur Safii mengatakan nyadran merupakan bentuk rasa syukur kepada yang Maha pencipta. Yang digelar setiap tahun sekali dalam tanggalan Jawa 15 Ruwah.

"Dalam nyadran ini masyarakat membawa ayam ingkung, nasi uduk dan uborampe lainya," katanya.

Selanjutnya, Ketua Panitia Tradisi Nyadran Suprapri mengatakan nyadran ini untuk mengingat cikal bakal munculnya Padukuhan Blarangan. Konon dahulu ada punggowo Majapahit lari dari kerajaan. Keduanya yakni Tumenggung Wayang dan Tumenggung Sesuco Ludiro.

Mereka dikejar oleh para prajurit kerajaan, kemudian dipaksa untuk kembali. Karena menolak, akhirnya terjadi pertempuran hingga keduanya dikepung atau dikalang.

Berawal dari sana, jadilah nama Padukuhan Kalangan di Kecamatan Karangmojo. Ki Wayang saat itu sulit untuk ditaklukkan. Tiga bagian tubuhnya dipisah dan membuatnya tersungkur tak berdaya lagi.

Akhirnya, Tumenggung Wayang wafat. Dengan peperangan tersebut, maka pertumpahan darah pun terjadi. Daerah itu kemudian disebut Blarangan, dari kata Mblarah Getih Blarah.

Setelah Ki Wayang wafat, Ki Sesuco Ludiro yang masih bertahan hidup kemudian mengajarkan cocok tanam dan menjadikan daerah subur makmur. Setelah sekian lama, Ki Seco akhirnya wafat dan dikebumikan di Blarangan.

"Kegiatan ini di gelar dengan pembiayaan dana desa 2024 dan swadaya gotong royong semua warga," katanya.