RUU KKS dinilai penting untuk memperkuat tata kelola keamanan siber dan pencegahan radikalisme digital

id ruu kks,siber

RUU KKS dinilai penting untuk memperkuat tata kelola keamanan siber dan pencegahan radikalisme digital

Ridlwan Habib, Direktur The Indonesia Intelligence Institute, berpose bersama penyelenggara acara diskusi literasi keamanan Siber bertajuk "Kewaspadaan Digital: Penangkalan Radikalisme Melalui Payung Hukum Ketahanan Digital", di Yogyakarta, Rabu (10/12/2025). (ANTARA/HO-TIII)

Yogyakarta (ANTARA) - Situasi keamanan siber nasional dinilai semakin mengkhawatirkan seiring meningkatnya penyebaran konten kekerasan, radikalisme, dan ekstremisme di ruang digital. Kondisi ini memperkuat urgensi pengesahan Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU KKS) sebagai payung hukum nasional yang komprehensif dan terintegrasi.

Direktur The Indonesia Intelligence Institute, Ridlwan Habib, menyampaikan keprihatinan terhadap rapuhnya ketahanan siber Indonesia akibat belum adanya satu undang-undang yang secara khusus mengatur keamanan siber secara menyeluruh.

"Banyak celah dalam regulasi. Indonesia punya beberapa aturan ITE, tetapi belum ada undang- undang yang benar-benar mengatur keamanan siber secara menyeluruh," ujar Ridlwan.

Ia menilai salah satu persoalan mendasar adalah fragmentasi kewenangan antar-lembaga. Saat ini, setiap institusi memiliki unit siber masing-masing, seperti Polri dengan Cybercrime, Kementerian Komunikasi dan Digital dengan fungsi pengawasan siber, Kejaksaan, serta sejumlah lembaga lain. Namun, belum terdapat satu payung koordinasi nasional yang menyatukan seluruh fungsi tersebut.

Dalam konteks tersebut, pembahasan RUU KKS di DPR RI dipandang krusial untuk menjadi fondasi hukum yang memberikan mandat koordinatif lintas sektor dan memperkuat sistem pertahanan siber nasional secara terpadu.

Ridlwan mencontohkan kasus bom rakitan yang melibatkan seorang siswa SMA 72 sebagai bukti nyata betapa mudahnya anak muda terpapar konten ekstrem di internet. "Ia terinspirasi tokoh ekstrem lalu mempraktikkannya. Ini alarm keras bagi kita semua," tegasnya.

Ia mendorong sekolah agar lebih aktif melakukan pendampingan terhadap siswa, memperkuat layanan konseling, serta membuka ruang komunikasi yang aman. Guru diharapkan lebih proaktif, sementara pemerintah perlu membangun sinergi lintas kementerian, termasuk dengan Kementerian Pendidikan, Komisi Perlindungan Anak, Kementerian Komunikasi dan Digital, hingga Kementerian Sosial.

Ridlwan juga menyoroti masih biasnya definisi radikalisme di Indonesia yang kerap tumpang tindih dengan ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana maupun regulasi digital lainnya. Menurutnya, kejelasan definisi sangat dibutuhkan agar penindakan hukum tidak saling bertabrakan dan perlindungan terhadap anak serta remaja dapat berjalan efektif.

Dalam upaya pencegahan, peran orang tua dinilai sangat penting. Mereka dituntut memiliki literasi digital yang memadai, mampu mengenali tanda-tanda paparan ekstremisme, serta membangun komunikasi terbuka dengan anak. "Jangan hanya guru yang dilatih literasi digital. Orang tua juga harus dibekali," katanya.

Namun, ia mengakui bahwa banyak anak muda cenderung mengabaikan nasihat yang datang dari orang tua. Karena itu, Ridlwan mendorong pendekatan edukasi berbasis teman sebaya, terutama bagi generasi Z yang dinilai lebih responsif terhadap figur seusia mereka. "Gen Z sangat cocok menjadi agen perubahan. Mereka lebih didengar oleh teman-temannya," ujar Ridlwan.

Pendekatan berbasis komunitas sebaya dinilai efektif untuk menyebarkan narasi positif dan menangkal propaganda ekstrem yang masif di media sosial. Pandangan tersebut diperkuat oleh Hasibullah dari FKUB Muda DIY, yakni wadah pemuda lintas agama yang berada di bawah Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Daerah Istimewa Yogyakarta, yang berfokus pada penguatan toleransi, dialog antariman, dan pencegahan konflik sosial di kalangan generasi muda.

Hasibullah menilai anak muda masih membutuhkan ruang konsultasi yang jelas dan terarah ketika menghadapi persoalan di ruang digital. "Sering kali kami bingung hendak melapor ke mana ketika menemukan masalah. Karena itu kolaborasi dan partisipasi dalam membangun dunia digital yang aman sangat penting," katanya.

Ia berharap generasi muda dapat terus berperan sebagai agen perdamaian, ikut menjaga ruang digital, serta berkolaborasi dengan berbagai pihak untuk memastikan stabilitas dan keamanan nasional.

Dalam pemaparannya, Ridlwan juga menyinggung meningkatnya ketidakstabilan geopolitik global, mulai dari konflik Ukraina dan Rusia, eskalasi di Palestina, Israel, Lebanon, dan Iran, konflik China–Taiwan, hingga memanasnya hubungan India dan Pakistan. Kondisi global yang ia gambarkan sebagai "uncertain, chaotic, and volatile" tersebut dinilai berdampak langsung terhadap situasi keamanan Indonesia.

Ancaman yang dihadapi Indonesia mencakup potensi sengketa di Laut Natuna, meningkatnya serangan siber, konflik komunal, melemahnya kerja sama keamanan kawasan, hingga risiko radikalisasi yang dipicu dinamika konflik global.

Di sisi lain, Ridlwan mengungkap temuan mengenai menurunnya jangkauan media Islam moderat di ruang digital, yang kini kalah oleh media beraliran keras. Kondisi ini dinilai memperbesar ruang propaganda ekstrem dan menegaskan pentingnya penguatan ketahanan informasi nasional.

Ridlwan menegaskan bahwa pengesahan RUU KKS harus menjadi bagian dari strategi besar penguatan intelijen, ketahanan informasi, dan pemerataan literasi digital nasional. "Ancaman semakin kompleks. Kita harus memperkuat benteng digital dan sosial kita," pungkasnya.

Pewarta :
Editor: Bambang Sutopo Hadi
COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.