CSIS: TPP membawa konsekuensi reformasi perundang-undangan

id Trans-Pacific Partnership

Yogyakarta (Antara Jogja) - Peneliti dari Center for Strategic and International Studies Jose Rizal Damuri mengatakan keikutsertaan Indonesia dalam kemitraan Trans-Pacific Partnership akan membawa konsekuensi reformasi banyak perundang-undangan nasional.

"Dengan bergabung dengan kemitraan Trans-Pacific Partnership (TPP) apakah kita siap ketika banyak undang-undang (UU) kita direformasi untuk sebagai upaya penyesuaian," kata Jose Rizal dalam diskusi "Prospek Trans-Pacific Partnership (TPP) dan Strategi Perdagangan Bebas Indonesia" di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Kamis.

Menurut Jose, ketika Indonesia telah menyatakan diri bergabung dengan TPP, berbagai kebijakan investasi maupun perdagangan harus disesuaikan dengan aturan dalam TPP mulai tingkat pusat hingga daerah. Dengan demikian akan banyak regulasi yang diubah di antaranya seperti Undang-Undang (UU) penanaman modal, UU persaingan usaha, serta UU hak kekayaan intelektual (HAKI).

"Bahkan aturan-aturan yang ada di pememrintah pusat, DPR, Pemda, hingga dunia usaha juga bisa diubah agar koheren dengan peraturan atau standar yang ada dalam TPP," kata dia.

Oleh sebab itu, menurut dia, sikap yang perlu diambil oleh pemerintah adalah tidak perlu terburu-buru memutuskan bergabung atau tidak dengan TPP, meski 4 negara ASEAN lainnya yaitu Singapura, Malaysia, Brunei, dan Vietnam telah masuk dalam TPP, menyusul Amerika Serikat, Australia, Chili, Kanada, Jepang, Meksiko, Selandia Baru, dan Peru.

"Jangan terburu mengatakan ya (bergabung), karena akan banyak berdampak pada perubahan aturan domestik," kata dia.

Kendati demikian, Jose mengatakan di sisi lain apabila Indonesia terlalu cepat menyatakan tidak bergabung, juga akan banyak kerugian karena akan kehilangan pangsa pasar ekspor khususnya di negara-negara yang telah bergabung dalam TPP.

"Sampai sekarang Jepang serta Amerika Serikat masih merupakan pasar terbesar Indonesia," kata dia.

Selain itu, menurut dia, negar yang telah masuk dalam TPP juga akan menjadi prioritas penanaman modal oleh investor di negara-negara maju.

"Di ASEAN, sekarang investor-investor lebih melirik Vietnam karena telah bergabung dalam TPP," kata dia.

Senada dengan Jose, Direktur Kerja Sama Bilateral dan Multilateral Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Fritz Horas Silalahi lebih menekankan agar pemerintah lebih mengutamakan kehati-hatian untuk memutuskan bergabung dalam TPP.

Risiko kerumitan pengaturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penanaman modal, menurut dia, juga perlu menjadi kajian utama dalam mengambil kebijakan,

"Aspek pengaturan hukumnya (dalam penanaman modal) perlu diteliti kembali agar ketika diimplementasikan tidak ada sengketa," kata dia.

(L007)