Jogja (Antara Jogja) - Pendidikan seyogianya berbasis pada kebudayaan yang memiliki daya fleksibilitas dalam beradaptasi terhadap ruang dan waktu masa kini secara kreatif dan inovatif, kata peneliti Institut Teknologi Bandung Acep Iwan Saidi.
"Hal itu berpijak pada masa lalu sebagai titik berangkat dan bergerak ke masa depan sebagai tujuan," katanya pada diskusi `Formalisme dalam Lembaga Pendidikan` di Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta, Jumat.
Menurut dia, pendidikan masa depan seyogianya mengarah pada pencapaian kebahagiaan, sebagai prestasi tertinggi belajar. Orientasi pendidikan yang mengarah pada upaya menghasilkan manusia terampil, menguasai pengetahuan, dan kecanggihan berpikir semata harus ditinggalkan.
"Pergeseran orientasi pendidikan tinggi dari sistem pendidikan Eropa Continental ke sistem Amerika telah melahirkan pragmatisme, berbanding lurus dengan formalisme dan materialisme yang bertahan hingga sekarang," katanya.
Ia mengatakan sistem pendidikan di Indonesia masih berbasis pada formalisme, yang berhubungan timbal balik dengan materialisme. Pada situasi itu formalisme dan materialisme pendidikan bersambung dan menjadi pendukung berkembangnya budaya populer.
"Pendidikan kita hanya menyentuh permukaan. Tidak ada pembentukan karakter maupun pencapaian kebahagiaan, yang mestinya menjadi prestasi tertinggi belajar," katanya.
Oleh karena itu, pendidikan seyogianya bukan hanya proses pembelajaran untuk mengetahui melainkan juga mengalami.
"Mengatasi persoalan pendidikan tidak cukup dengan hanya mengubah secara tambal sulam hal-hal di permukaan seperti perubahan kurikulum, pelatihan guru, perbaikan infrastruktur, tetapi juga harus dimulai dari pengubahan orientasi dan filosofinya," kata Acep.
Dosen Pendidikan Bahasa Inggris (PBI) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) USD Ouda Teda Ena mengatakan pendidikan Indonesia sedang menghadapi sejumlah persoalan serius.
Persoalan itu di antaranya tidak jelasnya prinsip-prinsip dasar dan arah pendidikan, kurikulum yang mudah berubah-ubah, mutu dan distribusi tenaga pengajar, tidak terjangkaunya biaya pendidikan oleh sebagian besar warga, dan kurangnya finansial terhadap penyelenggaraan pendidikan.
"Pendidikan kita tidak jarang hanya asal memenuhi standar global tertentu. Memang terdapat keuntungan materiil yang tinggi dari hasil proses standarisasi itu, tetapi pendidikan bisa kehilangan jiwanya, kehilangan rasa kasih sayang, dan kehilangan berbagai nilai kemanusiaan," kata Ouda.
Diskusi "Formalisme dalam Lembaga Pendidikan" itu diselenggarakan USD bekerja sama dengan Asosiasi Sekolah Jesuit Indonesia (ASJI).
(B015)
Berita Lainnya
Ini tiga persoalan dasar pendidikan tinggi di Indonesia
Minggu, 5 Mei 2024 7:29 Wib
Atasi rasio dokter spesialis, pemerintah membuka enam prodi di RS pendidikan
Sabtu, 4 Mei 2024 17:26 Wib
Penggunaan AI di Indonesia butuh regulasi di bidang pendidikan
Sabtu, 4 Mei 2024 10:55 Wib
Pendidikan antiintoleransi-perundungan lahirkan manusia unggul di Indonesia
Sabtu, 4 Mei 2024 5:54 Wib
Ribuan guru di Sleman ikuti Senam Sehat Profil Pelajar Pancasila
Jumat, 3 Mei 2024 17:19 Wib
Pemetaan komprehensif perlu dibuat agar kesejahteraan guru Indonesia naik
Jumat, 3 Mei 2024 12:38 Wib
Guru besar: Pendidikan di Indonesia berkembang pesat
Jumat, 3 Mei 2024 11:21 Wib
OIKN menyusun peta jalan pendidikan IKN
Jumat, 3 Mei 2024 9:13 Wib