Yogyakarta (ANTARA) - Penertiban pedagang kaki lima dan reklame mendominasi penegakan peraturan daerah di Kota Yogyakarta sepanjang 2019, bahkan angka penertibannya meningkat hampir dua kali lipat dibanding 2018, berdasarkan catatan Satuan Polisi Pamong Praja setempat.
“Secara umum, jumlah pelanggaran sejumlah peraturan daerah (perda) pada 2019 berkurang. Namun, untuk reklame dan pedagang kaki lima (PKL) pada tahun ini memang mengalami kenaikan dibanding 2018,” kata Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Yogyakarta Agus Winarto di Yogyakarta, Rabu.
Berdasarkan data Satpol PP Kota Yogyakarta, jumlah pelanggaran Perda Nomor 26 Tahun 2002 tentang PKL mencapai 845 kasus, sedangkan pada 2018 tercatat 515 kasus. Sementara itu, untuk pelanggaran Perda Nomor 2 Tahun 2015 tentang penyelenggaraan reklame mengalami kenaikan dari 2.676 pelanggaran menjadi 5.021 pelanggaran pada tahun ini.
Dari pelanggaran tersebut, sebanyak 106 pelanggaran PKL dan 181 pelanggaran reklame diajukan ke sidang di PN Kota Yogyakarta dengan sanksi denda yang bervariasi.
Selain kedua pelanggaran tersebut, Agus juga menyatakan akan mulai fokus melakukan penegakan Perda Nomor 1 Tahun 2017 tentang penyelenggaraan Pondokan. Pada tahun ini, tercatat 60 kasus pelanggaran perda tersebut dengan satu pelanggaran diproses secara yustisi di pengadilan.
“Dari penegakan yang kami lakukan sepanjang 2019, masih ditemukan beberapa pondokan campur. Sesuai aturan, pondokan harus terpisah untuk laki-laki atau perempuan,” katanya.
Oleh karena itu, Agus berharap, agar masyarakat ikut berpartisipasi dalam mengawasi lingkungan tempat tinggal mereka dan melapor ke Satpol PP jika menemukan pondokan campur.
“Pada 2020, kami akan memasukkan tertib pondokan ini dalam salah satu kategori untuk Panca Tertib Award,” katanya.
Satpol PP Kota Yogyakarta menginisiasi gerakan Kampung Panca Tertib untuk meningkatkan peran serta masyarakat mewujudkan lingkungan tempat tinggal yang tertib. Terdapat lima aspek ketertiban yang menjadi fokus gerakan, yaitu tertib daerah milik jalan, tertib bangunan, tertib usaha, tertib lingkungan dan sosial.
“Melalui gerakan tersebut, diharapkan masyarakat sudah memiliki kesadaran untuk berperilaku tertib dimanapun dan kapanpun sehingga tidak akan ada pelanggaran ketertiban. Kami pun tinggal memantau saja bagaimana kondisinya,” katanya.
Sementara itu, Kapolresta Kota Yogyakarta Kombes (pol) Armaini mengatakan, perlu dilakukan sinergi yang lebih kuat antara kepolisian dan Satpol PP Kota Yogyakarta untuk mewujudkan suasana Yogyakarta yang kondusif.
“Ada beberapa kasus yang kami tangani, tetapi minuman keras menjadi salah satu perhatian utama kami. Miras adalah biang berbagai tindakan kriminalitas termasuk ‘klithih’ (kejahatan jalanan yang dilakukan anak di bawah umur),” katanya.
Hingga Oktober 2019, terdapat 17 kasus penjualan minuman keras yang ditangani kepolisian dan 17 laporan kasus “klithih”.
Meskipun terus melakukan penangkapan terhadap peredaran minuman keras, ia menyebut kasus tersebut tidak akan pernah habis karena motif utama penjualan miras adalah ekonomi. “Setiap kali ada peredaran miras, ya kami tangkap. Ada lagi, kami tangkap lagi, begitu seterusnya,” katanya.
Ia pun berharap, ada efek jera bagi oknum penjual minuman keras. “Jika Perda Miras di Yogyakarta sudah berusia tua, maka kami siap memberikan rekomendasi agar perda lebih bisa memberikan efek jera,” katanya.
Perda Larangan Miras di Kota Yogyakarta sudah berusia lebih dari setengah abad, yaitu Perda Nomor 7 Tahun 1953.