Ombudsman DIY: Praktik diskriminasi konsumen produk tembakau terjadi di berbagai tempat

id tembakau,ombudsman

Ombudsman DIY: Praktik diskriminasi konsumen produk tembakau terjadi di berbagai tempat

Para narasumber Focus Group Discussion (FGD) "Wacana Revisi Regulasi: Praktik Diskriminasi Terhadap Perlindungan Hak Konsumen Produk Tembakau" (ANTARA/HO-PK)

Yogyakarta (ANTARA) - Komisioner Ombudsman DIY Agung Sedayu mengatakan bahwa praktik diskriminasi terhadap konsumen produk tembakau terjadi di berbagai tempat, seperti lingkungan sosial, kesehatan, asuransi, pendidikan, tempat kerja, dan tempat umum.

"Diskriminasi konsumen produk tembakau terlihat dari terbatasnya akses informasi terkait produk tembakau dan kebijakannya, pembatasan akses atas hak partisipasi dalam proses pembuatan kebijakan hingga tidak mempertimbangkan pandangan dan aspirasi konsumen dalam proses pembuatan kebijakan," katanya di Yogyakarta, Kamis.

Selain itu, kata Agung Sedayu dalam gelaran Focus Group Discussion (FGD) "Wacana Revisi Regulasi: Praktik Diskriminasi Terhadap Perlindungan Hak Konsumen Produk Tembakau" mengatakan praktik diskriminasi hak advokasi juga dialami konsumen produk tembakau.

Contohnya pembatasan kebebasan berbicara dan berekspresi tentang produk tembakau dan pemangkasan anggaran serta dukungan untuk lembaga advokasi konsumen produk tembakau. "Praktik diskriminasi ini seluruhnya menghambat konsumen dalam memperoleh informasi dan dukungan terkait kesehatan dan kesejahteraan," katanya.

Agung juga menekankan bahwa masih ada contoh praktik diskriminasi lain yang dialami konsumen produk tembakau, yakni praktik diskriminasi hak edukasi, di mana ada pemberian informasi yang tidak lengkap atau salah mengenai produk tembakau.

"Seharusnya pemerintah memberikan dukungan dan fasilitas yang memadai untuk edukasi konsumen tentang produk tembakau. Bukannya justru melarang atau membatasi yang berujung menghambat konsumen dalam membuat keputusan," ujar Agung dalam FGD yang diikuti puluhan representasi lintas asosiasi dan organisasi di Yogyakarta ini.

Ary Fatanen, Ketua Pakta Konsumen selaku organisasi yang menginisiasi FGD ini menegaskan bahwa konsumen hanya dianggap sebagai objek. Padahal dengan kontribusi dan sumbangsihnya terhadap cukai rokok, hak-hak konstitusional konsumen tidak boleh diabaikan.

Menurut dia, sejak dirilisnya Keppres Nomor 25 Tahun 2022 Desember tahun lalu, dengan viralnya rencana larangan total penjualan rokok batangan, semakin nyata praktik diskriminasi dan pengabaian hak-hak ekonomi masyarakat.

"Ditambah lagi, dorongan revisi PP Nomor 109 Tahun 2012 terdapat 7 poin materi yang mayoritasnya adalah pelarangan total iklan, promosi dan sponsorship yang lagi-lagi menindas hak informasi dan hak edukasi konsumen," katanya. 

Mewakili suara konsumen, Ary menuturkan bahwa konsumen siap berperan aktif untuk sosialisasi dan dirangkul dalam upaya dan program pemerintah menurunkan prevalensi perokok anak.  Namun, regulator dan "stakeholder" tidak pernah merangkul dan melibatkan konsumen.

"Sampai saat ini aapirasi konsumen produk tembakau tidak didengar. Bersama lintas organisasi yang hadir saat ini, mari kita mengawal hak-hak partisipatif, edukasi, hak advokasi, dan hak ekonomi konsumen," ucapnya. 

Detkri Badhiron, Komite Tetap KADIN DIY Bidang Kebijakan Publik menuturkan bahwa asas perlindungan konsumen telah diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang menyebutkan bahwa konsumen berhak mendapatkan keadilan, keamanan, dan kepastian hukum.

"Prinsipnya perlindungan konsumen adalah perangkat hukum yang diciptakan untuk melindungi dan terpenuhinya hak konsumen termasuk konsumen produk tembakau," kata Detkri.

Terkait wacana revisi PP 109/2012 yang terus didorong, Detkri menekankan bahwa prinsipnya adalah pengendalian dan pengawasan, bukan mengarah pada pelarangan total. 

Menanggapi dorongan muatan materi pelarangan total iklan, promosi, dan sponsorship, M Hafidullah selaku praktisi periklanan, menyayangkan hal tersebut, karena baik di platform "out of home" maupun digital, industri iklan akan sangat terpukul. Begitu pula dari sisi tenaga kerja hingga perputaran perekonomian.

"Memotret relasi antara produk tembakau dan industri periklanan, belanja iklan rokok cukup besar. Berkaca pada 2017-2018 adalah golden periode kontribusi belanja iklan industri hasil tembakau (IHT) sebesar Rp 6-7 triliun. Nah, ketika iklan rokok migrasi ke digital, juga mulai banyak pembatasan yang menjurus pada pelarangan total," tutur Hafidullah. 

Memandang masifnya dorongan revisi regulasi pertembakauan, AB Widyanta, Sosiolog UGM menilai penting bagi konsumen untuk mengawal penyusunan regulasi agar adil, berimbang dan memberi kesempatan serta pelibatan dan perlindungan kepada seluruh konsumen.

"Jangan sampai ada konflik kebijakan atau tumpang tindih kebijakan yang ujungnya mengorbankan konsumen. Komoditas tembakau ini harus kita jaga keberlangsungannya," kata dia. 

Ia juga berharap pemerintah, sebelum memutuskan melahirkan sebuah regulasi, kiranya terlebih dahulu melakukan riset-riset dasar/fondasional, holistik dan substansif terkait ekosistem pertembakauan.

"Libatkan konsumen, ilmuwan dan ahli dari lintas transdisipliner yang wajib menimbang pada aspek kemandirian ekonomi dan kedaulatan bangsa," kata AB Widyanta.