Yogyakarta (ANTARA) - Dekan Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Budi Setiadi Daryono menyebut kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) dapat dioptimalkan untuk mendukung konservasi keanekaragaman hayati di Indonesia.
"Teknologi AI juga bisa digunakan dalam perencanaan lingkungan, pengambilan keputusan, dan pengelolaan berdasarkan algoritma otomatis, sehingga dapat menjaga kualitas ekosistem," kata Prof Budi Daryono dalam keterangan tertulis UGM di Yogyakarta, Kamis.
Melimpahnya keanekaragaman hayati Indonesia, menurutnya, menjadi sumber eksplorasi bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan kesejahteraan umat manusia.
Namun demikian, kata dia, potensi itu perlu diiringi dengan upaya penjagaan dan pelestarian yang berkelanjutan disertai pendataan yang lengkap, akurat, serta valid.
Budi Daryono menyebutkan teknologi Metaverse, open science, big data analytics, bioinformatics, biotechnology, dan teknologi AI potensial untuk menjawab upaya pengelolaan, pendayagunaan, dan pelestarian sumber daya hayati.
Dalam konservasi marga satwa, kata Budi, AI juga dapat berperan dalam berbagai kegiatan seperti monitoring kesehatan ekosistem, mereduksi tingkat kontak dengan satwa liar, dan mencegah konflik satwa dengan masyarakat lokal melalui monitoring dan otomatisasi pengelolaan informasi.
Sementara di bidang pendidikan, lanjutnya, teknologi Metaverse bisa menjadi media pembelajaran dan penelitian di bidang biologi yang akan terus berkembang dan menjadi daya tarik tersendiri, khususnya bagi generasi milenial dalam mempelajari biologi.
"Perpaduan antara Metaverse dan pembelajaran hayati akan mengantarkan Biologi menjadi bidang ilmu pengetahuan yang penting serta menjadi kunci dalam kajian dan eksplorasi biologi masa depan yaitu Deep Sea dan Exobiology yang didahului dengan pesatnya perkembangan big data analytics dan bioinformatika terkait keanekaragaman hayati pada saat ini,” ujarnya.
Menurut dia, berbagai pendekatan menggunakan teknologi diperlukan mengingat Indonesia memiliki keanekaragaman hayati laut yang paling besar di dunia dan diakui memiliki dua biodiversity hotspots dunia yakni Sundaland dan Wallacea, yakni wilayah dengan spesies endemik yang melimpah dengan tingkat kepunahan tinggi.
Dia menilai aktivitas antropogenik atau kegiatan manusia merupakan penyebab utama kerusakan keanekaragaman hayati Indonesia, selain faktor perubahan iklim yang juga menjadi pendorong kerusakan ekosistem global.
"Banyaknya kasus yang mengancam keanekaragaman hayati di Indonesia tentunya perlu upaya lebih lanjut untuk mencegah kegiatan antropogenik,” ujar Budi.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Akademisi: Manfaatkan AI guna dukung konservasi keanekaragaman hayati