Hakim tegaskan uang suap digunakan untuk sosial bukan alasan pembenar

id Suap, Kegiatan Sosial, Putusan lepas CPO, Korupsi

Hakim tegaskan uang suap digunakan untuk sosial bukan alasan pembenar

Sidang pembacaan putusan majelis hakim terkait kasus dugaan suap terhadap putusan lepas (ontslag) perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor CPO, di Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Rabu (3/12/2025). (ANTARA/Agatha Olivia Victoria)

Jakarta (ANTARA) - Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menegaskan uang suap yang digunakan untuk kegiatan sosial tidak dapat dijadikan alasan pembenar (justification) atau alasan pemaaf (actus) yang mengurangi secara substansial pidana yang harus dijatuhkan kepada terdakwa.

Penegasan tersebut merespons pembelaan hakim nonaktif Djuyamto dalam kasus dugaan suap terhadap putusan lepas (ontslag) perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) pada tahun 2023-2025.

"Tidak dibenarkan hasil korupsi digunakan untuk membangun pusat dakwah, masjid, atau sarana keagamaan lainnya. Hal itu sejalan dengan pesan kullu maa jaa'a minal-haraami fahuwa haraam, artinya segala yang berasal dari yang haram maka hukumnya haram," ujar hakim anggota Andi Saputra dalam sidang pembacaan putusan majelis hakim di Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Rabu.

Dalam pembelaannya, Djuyamto berdalih sebagian besar uang suap yang diterima dalam kasus tersebut tidak digunakan untuk keperluan pribadi, tetapi untuk kepentingan sosial, budaya, dan kegiatan kemasyarakatan.

Baca juga: KPK panggil 14 saksi kasus suap jabatan Ponorogo di Polres Madiun

Hakim Ketua Effendi menyatakan prinsip fundamental dalam hukum pidana, yakni penggunaan hasil tindak pidana tidak menghilangkan sifat melawan hukum dari perbuatan tersebut.

Pada konteks Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengenai suap kepada hakim, perbuatan pidana sudah selesai pada saat hakim menerima pemberian atau janji yang diberikan dengan maksud untuk mempengaruhi putusan.

Maka dari itu, lanjut Hakim Ketua, delik Pasal 6 ayat (2) UU Tipikor terwujud tanpa melihat untuk apa uang tersebut digunakan setelahnya. Selain itu, pasal tersebut merupakan delik formal, bukan delik materiel.

Dengan demikian, Majelis Hakim berpendapat dalil penasihat hukum Djuyamto, yang menyatakan penggunaan uang untuk kegiatan sosial budaya menunjukkan terdakwa tidak serakah atau materialistis, justru keliru dan berbahaya.

Baca juga: KPK periksa Direktur PUPH Kemenhut Khairi Wenda sebagai saksi

"Alasan tersebut mengandung cacat logika, bagian dari modus pencucian uang, serta menunjukkan kesadaran untuk menyembunyikan perbuatan," ucap Hakim Ketua.

Dalam sejarah hukum Indonesia, Hakim Ketua menyampaikan terdapat beberapa kasus di mana pelaku korupsi menggunakan dalil serupa, yaitu uang digunakan untuk kegiatan sosial dan amal.

Disebutkan bahwa pada praktik peradilan, majelis hakim secara konsisten menolak dalil tersebut karena bertentangan dengan prinsip dasar hukum pidana bahwa perbuatan melawan hukum tidak dapat dibenarkan atau dimaafkan dengan alasan penggunaan hasil kejahatan untuk kebaikan.

Dalam kasus tersebut, terdapat lima terdakwa yang terseret, yakni Ketua PN Jakarta Selatan periode 2024-2025 Muhammad Arif Nuryanta; tiga hakim nonaktif (Djuyamto, Ali Muhtarom, dan Agam Syarief Baharuddin); serta Mantan Panitera Muda Perdata PN Jakarta Utara Wahyu Gunawan.

Baca juga: KPK respons peluang Sungai Budi Group jadi tersangka korporasi

Kelimanya telah divonis terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi menerima suap yang dilakukan secara bersama-sama.

Dengan demikian, kelimanya dijatuhkan hukuman penjara, denda, dan uang pengganti. Secara perinci, Djuyamto, Ali, dan Agam masing-masing dikenakan pidana penjara selama 11 tahun; Arif selama 12 tahun dan 6 bulan; serta Wahyu selama 11 tahun dan 6 bulan.

Kemudian, kelima terdakwa masing-masing dijatuhkan pidana denda sebanyak Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan.

Sementara, uang pengganti yang dijatuhkan kepada Djuyamto sebesar Rp9,1 miliar; Ali Rp6,4 miliar; Agam Rp6,4 miliar; Arif Rp14,73 miliar; dan Wahyu Rp2,36 miliar. Uang pengganti tersebut senilai dengan uang suap yang diterima para terdakwa.

Pembayaran uang pengganti diberikan dengan ketentuan apabila tidak dibayar maka diganti dengan pidana selama 4 tahun penjara untuk Djuyamto, Agam, Ali, dan Wahyu serta 5 tahun penjara untuk Arif.

Baca juga: KPK usut dugaan penyimpangan proyek Monumen Reog Ponorogo






Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Hakim tegaskan uang suap digunakan untuk sosial bukan alasan pembenar

Pewarta :
Editor: Nur Istibsaroh
COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.