Pemilu - Mengharap wakil perempuan lebih berkualitas

id kualitas wakil perempuan

Pemilu - Mengharap wakil perempuan lebih berkualitas

Deklarasi Caleg Perempuan di Yogyakarta (Foto Antara/Sigid Kurniawan)

Keberadaan anggota legislatif dan menteri-menteri perempuan pascareformasi telah memberikan angin segar bagi aspirasi perempuan yang ada di Indonesia.

Bila sebelumnya lingkaran kekuasaan negeri ini, baik eksekutif, legislatif dan yudikatif, dari tingkat pusat hingga daerah didominasi laki-laki, maka saat ini perempuan diberi kesempatan untuk terlibat dalam pengambilan keputusan.

Peraturan mengenai kuota 30 persen bagi perempuan di legislatif, dan kemudian aturan serupa menyusul untuk perekrutan pegawai pemerintahan dan di bidang lainnya, seolah memberikan penegasan perlunya keterlibatan perempuan di lingkaran kekuasaan.

Namun, aturan tampaknya tetaplah hanya akan menjadi sebuah aturan. Faktanya, keberadaan perempuan, misalnya di DPR periode 2009-2014, belum memenuhi kuota 30 persen.

Pada 2009, anggota legislatif perempuan yang dilantik berjumlah 99 orang dari total 560 anggota DPR, atau hanya 17,68 persen.

Dengan adanya dinamika politik, terjadi beberapa pergantian antarwaktu terhadap anggota DPR sehingga jumlah anggota perempuan saat ini mencapai 104 orang atau 18,6 persen.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Gumelar mengajak pemilih untuk memilih calon anggota legislatif perempuan pada Pemilu 2014.

Menurut Linda, perempuan bisa memperjuangkan pemberdayaan perempuan, kesetaraan gender dan perlindungan anak.

"Idealnya parpol harus merekrut caleg perempuan sejak awal. Terutama orang yang punya minat dan akar yang kuat di masyarakat," kata Linda dikutip dari Antara.

Linda mengatakan untuk meningkatkan jumlah calon anggota legislatif perempuan, partai politik perlu melakukan sosialisasi kepada masyarakat serta berupaya meningkatkan kualitasnya.

"Parpol jangan hanya mengejar kuantitas caleg perempuan, hendaknya kualitas dikedepankan," ujarnya.

    
Kualitas dipertanyakan

Namun, ternyata aturan mengenai kuota 30 persen itu tidak sepenuhnya didukung, bahkan oleh kalangan perempuan. Ketua Umum Kongres Wanita Indonesia (Kowani) Dewi Motik Pramono merupakan salah satu tokoh perempuan yang tidak setuju dengan kuota itu.

"Buat apa kuota 30 persen kalau tidak berkualitas. Sekarang coba sebutkan berapa banyak nama anggota DPR perempuan yang bisa dibilang berkualitas. Bagi saya lebih baik hanya 20 orang atau 30 orang asal semuanya berkualitas," kata Dewi.

Dewi mengatakan kualitas anggota DPR yang dipertanyakan sebenarnya tidak hanya untuk perempuan. Menurut dia, anggota legislatif laki-laki pun lebih banyak yang tidak berkualitas dibandingkan yang memiliki kualitas mumpuni.

"Jumlah penduduk kita 250 juta jiwa, 49 persennya perempuan. Dibandingkan Singapura yang jumlah penduduknya jauh lebih sedikit, kita saja masih kalah. Itu karena dari 250 juta jiwa masih banyak yang belum berkualitas," tuturnya.

Karena itu, Dewi setuju bila pada akhirnya perempuan-perempuan yang masuk dalam daftar calon anggota legislatif itu hanya untuk memenuhi kuota 30 persen sebagaimana yang disyaratkan.

"Akibatnya, siapa pun bisa masuk. Yang dulunya model panas, simpanan pejabat sampai penyanyi yang karyanya tidak dikenal bisa menjadi caleg," katanya.

Namun, Dewi tetap menyatakan harapan dan keyakinannya bahwa perempuan-perempuan yang nantinya berada di legislatif, bisa berkarya dan memberikan manfaat terhadap masyarakat, khususnya di daerah pemilihannya.

Menurut Dewi, perempuan-perempuan seharusnya tidak hanya memperjuangkan kelompoknya sendiri, tetapi juga masyarakat secara umum.

"Berjuang dan berkarya tidak harus di DPR. Di mana pun bisa berkarya untuk kemajuan bangsa. Kalau di DPR, kan mereka menerima gaji dari uang rakyat, maka haram uang yang mereka terima kalau tidak berjuang untuk rakyat," ucapnya.

Kepada para perempuan, Dewi mengingatkan perempuan adalah tiang negara. Apabila perempuan-perempuan benar-benar berkualitas, maka Indonesia juga akan menjadi negara yang berkualitas.

         
Bersuara di DPR

Anggota Komisi XI DPR Vera Febyanthy mengatakan anggota legislatif perempuan harus berani bersuara di mana pun dia ditempatkan, meskipun hanya sebagai anggota alat kelengkapan.

"Selama ini mungkin anggota perempuan berani bersuara hanya karena dia menjabat sebagai pimpinan alat kelengkapan. Yang hanya anggota lebih banyak diam," kata Vera.

Vera yang kembali mencalonkan diri melalui Partai Demokrat di daerah pemilihan DKI Jakarta III (Jakarta Barat, Jakarta Utara dan Kepulauan Seribu) itu mengatakan di mana pun posisinya, anggota DPR perempuan harus menunjukkan kemampuan dan ketangguhannya.

"Kalau anggota perempuan hanya diam saja, eksistensi mereka tidak akan muncul ke permukaan, kecuali mereka menjabat sebagai pimpinan alat kelengkapan yang 'terpaksa' harus bersuara," tuturnya.

Menurut Vera, masih banyaknya anggota DPR perempuan yang tidak berani bersuara juga terjadi di fraksinya, yaitu Fraksi Partai Demokrat.

"Kalau di Fraksi Partai Demokrat ada 20 orang saja anggota perempuan yang berani bersuara, pasti fraksi ini menjadi yang terhebat," ujarnya.

Namun, Vera menyadari bahwa memaksa anggota legislatif perempuan untuk aktif dan berani bersuara tidaklah mudah. Karena itu, dia berpendapat harus ada pembinaan dan strategi dari partai politik dan fraksi.

Vera mengatakan partai harus memiliki kader-kader perempuan yang akan dijagokan untuk menduduki posisi pimpinan alat-alat kelengkapan DPR. Selain itu, partai juga harus memikirkan komisi yang tepat untuk menempatkan seorang anggota perempuan.

"Menurut saya, idealnya minimal ada satu perempuan yang duduk sebagai pimpinan di setiap alat kelengkapan DPR. Sekarang ini di pimpinan DPR saja tidak ada wakil dari anggota perempuan," katanya.

Untuk meningkatkan kualitas, kata Vera, Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga seharusnya memperketat persyaratan menjadi calon anggota legislatif. Persyaratan yang ketat itu tidak hanya ditujukan untuk calon anggota legislatif perempuan tetapi juga untuk laki-laki.

"Misalnya, persyaratan harus minimal sarjana. Kemudian sudah menjadi kader partai minimal dua tahun sehingga sudah merasakan ikut berkeringat bersama partai. Jadi, partai juga tidak asal comot dalam memilih caleg," tuturnya.

Menurut Vera, persyaratan-persyaratan semacam itu masih ada di tingkat partai politik, sehingga antara partai satu dengan yang lain memiliki kebijakan yang berbeda.

Karena itu, dia mendesak KPU juga memperketat persyaratan untuk menjadi calon anggota legislatif untuk meningkatkan kualitas ketika terpilih di DPR.

    
Tahu yang diperjuangkan

Sementara itu, anggota Komisi II DPR Nurul Arifin mengatakan calon anggota legislatif perempuan harus tahu agenda apa yang akan dia perjuangkan apabila terpilih.

"Tidak harus isu-isu tentang perempuan yang dia perjuangkan. Namun, apa pun itu, dia harus tahu," kata Nurul.

Nurul yang kembali mencalonkan diri melalui Partai Golkar di daerah pemilihan Jawa Barat VII (Purwakarta, Karawang dan Bekasi) itu mengatakan perempuan selalu memiliki pemikiran-pemikiran yang berbeda terhadap sebuah permasalahan.

Dengan memahami isu, kata Nurul, perempuan akan bisa ikut merumuskan solusi dari permasalahan yang selama ini muncul di masyarakat.

"Tak hanya permasalahan politik. Bisa juga isu-isu sosial karena banyak permasalahan sosial yang memerlukan solusi dan pemikiran dari perempuan," ujarnya.

Karena itu, apabila terpilih sebagai anggota legislatif, Nurul mengatakan perempuan juga tidak boleh terjebak untuk memilih bertugas di komisi yang selama ini dianggap "stereotype" komisi perempuan.

"Saya misalnya di Komisi II yang tidak 'stereotype' sebagai komisi perempuan. Di manapun berada, perempuan selalu memiliki orisinalitas sendiri," tuturnya.

Selain itu, Nurul mengatakan politisi perempuan pun perlu berpikir seperti halnya politisi laki-laki. Sebab, di dunia politik perempuan juga bersaing dengan politisi laki-laki.

Meskipun seorang perempuan, kata Nurul, apabila sudah duduk di legislatif tetap harus memperjuangkan aspirasi seluruh rakyat, tidak hanya aspirasi perempuan.

Namun, sebagai perempuan tentunya memiliki sentuhan-sentuhan yang berbeda dengan laki-laki sehingga kebijakan yang diputuskan bisa lebih bermakna bagi rakyat.
(D018)
Pewarta :
Editor: Agus Priyanto
COPYRIGHT © ANTARA 2024