Produksi padi Gunung Kidul diperkirakan meningkat

id padi

Produksi padi Gunung Kidul diperkirakan meningkat

Ilustrasi panen raya padi (Foto antarafoto.com)

Gunung Kidul (Antara) - Sejumlah pihak memperkirakan produksi padi di Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, pada 2015, akan meningkat karena petani menggunakan pupuk semi organik dan sistem tanam baru.

Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Sri Rejeki Desa Katongan, Kecamatan Nglipar, Gunung Kidul, misalnya mengungkapkan sebelum menggunakan sistem tersebut petani hanya mendapatkan 7,6 ton gabah per hektare, namun dengan sistem itu dapat meningkat menjadi 12,4 ton per hektare.

"Sebelumnya, kami masih menggunakan sistem tradisional dan menggunakan pupuk kimia penuh, hasilnya tidak maksimal," kata Ketua Gapoktan Sri Rejeki, Sugeng Apriyanto di Gunung Kidul, Selasa.

Ia menyebutkan setelah menggunakan sistem tanaman jajar legowo (tajarwo) dan pupuk semi organik, produksi gabah meningkat menjadi 12,4 ton per hektare.

Menurut dia, tajarwo merupakan sistem tanam padi yang renggang dan penggunaan pupuk organik dan kimia.

"Pupuk organiknya 80 persen dan sisanya menggunakan pupuk kimia. Pola ini ternyata cocok dikembangkan di daerah kami," katanya.

Namun demikian, Sugeng mengakui saat ini belum semua petani menerapkan sistem tersebut sehingga belum semua memperoeleh hasil yang maksimal.

"Kami terus melakukan sosialisasi kepada petani agar mau menggunakan sistem itu sehingga ikut merasakan manfaatnya," katanya.

Sistem semi organik juga dilakukan di wilayah Gunung Kidul. Sebelumnya, Ketua Ikatan Petani Organik Gunung Kidul Iswanto mengatakan dari beberapa sampel atau demplod menunjukkan hasil yang cukup memuaskan.

Setiap hektarenya mampu menghasilkan 12 ton gabah kering panen (GKP) dengan pola pertanian semi organik.

"Semua karena adanya upaya penyadaran petani dengan sistem pertanian semi organik," katanya.

Dia mengatakan kedepan, pihaknya akan mengembangan tanaman padi organik sepenuhnya sehingga mampu menyejahterakan petani.

"Harga jual hasil tanaman organik jauh lebih tinggi dibandingkan gabah non-organik. Kedepan akan diupayakan untuk organik seratus persen," katanya.

Iswanto mengatakan upaya mengubah petani yang non-organik menjadi organik memang sulit. Pelaksanaannya harus ada pendampingan secara berkala. Upaya pendampingan oleh pemerintah melakukan seperti dengan sekolah lapangan (SL). Hal tersebut masih perlu ditingkatkan untuk menggairahkan petani bercocok tanam.

"Memang memulai sebuah upaya tidak mudah. Namun setelah kami memberikan pendampingan, hasilnya memuaskan," katanya.

(KR-STR)