Kulon Progo akan revisi Perda toko modern

id Kulon Progo akan revisi Perda toko modern

Kulon Progo akan revisi Perda toko modern

Forum Pemantau Independen (Forpi) melakukan sidak di toko modern berjejaring (TMB) di jalan HOS Cokroaminoto, Yogyakarta, DI Yogyakarta, Rabu (5/4). Sidak toko modern berjejaring tersebut dilakukan karena tidak memiliki surat Izin Usaha. ilustrasi do

Kulon Progo (Antara) - Pemerintah Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, akan merevisi Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2011 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Pasar Tradisional serta Penataan Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern.

Bupati Kulon Progo Hasto Wardoyo di Kulon Progo, Jumat, mengatakan revisi itu untuk melindungi industri kecil dan usaha mikro kecil menengah.

Menurut dia, pelaku industri kecil dan menengah (IKM) dan pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) harus menangkap peluang terkait dengan keberadaan bandara.

"Kami sudah meminta warga terdampak bandara dan pelaku UMKM, serta IKM membentuk koperasi. Kami minta mereka bekerja sama membangun Toko Milik Rakyat (Tomira)," katanya.

Untuk itu, kata Hasto, Pemkab Kulon Progo berkewajiban melindungi IKM dan UMKM dengan merevisi Perda Nomor 11 Tahun 2011 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Pasar Tradisional serta Penataan Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern.

"Revisi Perda tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Pasar Tradisional serta Penataan Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern sudah masuk pada program legislasi daerah 2017 sehingga diharapkan sudah diterapkan pada 2018. Tujuan utama dari revisi perda ini adalah aktivitas bisnis di kawasan bandara sebagian besar milik rakyat," kata Hasto.

Sementara itu, Ketua DPRD Kabupaten Kulon Progo Akhid Nuryati mengatakan pemkab harus mencermati dan menata ulang kembali kebijakan mengakusisi toko jejaring menjadi Tomira.

Akhid mengatakan dirinya mendapat keluhan dari pelaku UMKM, kesulitan menjual produk ke Tomira, dan kalau memasukan barang tidak dibayar langsung, tapi menunggu sampai produk laku.

"Kami belanja ke Tomira dekat Terminal Wates. Satu kelemahannya, harga produk UMKM dijual sangat mahal. Tomira dan koperasi yang mengakusisi toko jejaring perlu ditata ulang dan perlu dicermati dan dikaji," kata Akhid.

Ia mengatakan produk-produk UMKM yang dibuat masyarakat Kulon Progo tidak kalah dengan produk buatan pabrik besar. Seperti kripik produk unggulan Kecamatan Samigaluh yang sangat enak, dan harganya murah.

Pemkab harus membantu dari sisi peralatan, pemasaran dan pengemasan, supaya produk UMKM mudah diterima masyarakat luas.

"Kami sudah sampaikan hal ini kepada Bappeda. Produk UMKM jauh lebih enak dan tidak kalah dari segi rasa, tapi perlu pengemasan yang bagus dan mampu bersaing dengan produk buatan perusahaan," katanya.

Akhid juga menyayangkan Dinas Koperasi dan UKM belum menangkap peluang ini. Seharusnya, dinas melakukan pembianaan secara intensif dan mengintervensi pasar produk UMKM.

"Jangan manis dipermukaan, tapi pelaksanaanya sangat lemah. Persoalan-pesoalan UMKM dan koperasi harus dijawab dengan tindakan bukan sekedar kata manis," katanya.

Ketua Fraksi PKB DPRD Kulon Progo Sihabbudin mengatakan tujuh toko jejaring yang diakusisi menjadi Toko Milik Rakyat (Tomira) masih bias, artinya manajemen yang digunakan masih seperti semula dan hasilnya masih sangat kecil terhadap pertumbuhan dan perkembangan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).

"Kami minta pemkab memperjelas kepemilikan usaha dan manajemen usaha toko modern atau toko jejaring yang diakusisi," imbaunya.

Selain itu, kata Sihabbudin, perkembangan UMKM sangat positif di Kulon Progo, namun belum ada fasilitas perencanaan pengembangan UMKM yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten. Contoh, perencanaan pengembangan UMKM kaki lima di Alun-alun Wates belum ada perencanaan penataan ruangnya.

Menurut dia, pemetaan pedagang kecil dan pembinaan usaha terhadap pedagang kecil.

"Pemkab agar segera membuat perencanaan pengembangan UMKM atau lainnya yang akan mendorong kemajuan UMKM," katanya.

Ia mengatakan program posdaya diharapkan bisa untuk penanggulangan kemiskinan. Pada praktiknya usaha yang dilakukan oleh kelompok pada gulung tikar karena harga kulakan dari posdaya induk untuk dijual kembali tidak bisa bersaing dengan usaha lain. "Untuk itu program posdaya perlu dievaluasi," katanya. ***2***(KR-STR)