UGM sebut penerapan gedung ramah lingkungan terkendala kemampuan arsitek

id arsitek,green building,gedung ramah lingkungan,dosen UGM

UGM sebut penerapan gedung ramah lingkungan terkendala kemampuan arsitek

Dosen Departemen Arsitektur dan Perencanaan Universitas Gadja Mada (UGM) dan Praktisi Bangunan Hijau Jatmika Adi Suryabrata (Foto ANTARA/Hery Sidik)

Yogyakarta (ANTARA) - Dosen Departemen Arsitektur dan Perencanaan Universitas Gadja Mada (UGM) Jatmika Adi Suryabrata mengatakan penerapan bangunan gedung ramah lingkungan atau green buildings di Indonesia masih terkendala kemampuan arsitek yang kurang.

"Seperti yang telah saya sampaikan bahwa tantangan yang utama (penerapan bangunan ramah lingkungan) itu adalah kemampuan arsitek di Indonesia masih sangat kurang," kata Jatmika disela-sela temu wicara The Future Is Green, Are You Ready For It yang diadakan IFC World Bank Group di UGM Yogyakarta, Rabu.

Menurut dia, para arsitek saat ini kurang memperhatikan bangunan gedung yang ramah lingkungan. Ia menilai hal itu karena dulu masih dimanjakan dengan energi yang murah.

"Akan tetapi sekarang ini kan harga energi sangat mahal, naik terus, sehingga klien itu sangat menuntut untuk efisiensi energi dan air, tantangannya itu, kemampuannnya (arsitek) masih kurang," kata Jatmika.

Bahkan, kata Jatmika yang juga Praktisi Bangunan Hijau, kenyataan saat ini pada mata kuliah-mata kuliah di universitas kurang mendukung dalam penerapan bangunan gedung yang ramah lingkungan.

Jatmika pun menilai kalau di Kota Yogyakarta ini banyak sekali potensi penerapan green buildings, dan setiap pengembang akan menginginkan untuk bangunan hemat energi dan hemat air supaya operasional lebih murah.

"Seperti yang kita sampaikan bahwa 20 persen dari income (pendapatan) mereka untuk membayar bill, kalau itu bisa kita kurangi akan sangat membantu klien kita,"  katanya.

Dia menjelaskan kesalahan yang paling sering dilakukan dalam menerapkan bangunan gedung saat ini adalah banyak menggunakan kaca. Bahkan pada kaca yang sangat luas energi panas masuk ke dalam dan berakibat beban pada penggunaan AC (pengatur suhu dalam ruang).

"Biasanya AC adalah konsumen energi yang paling besar dalam satu bangunan, kalau kita ingin hemat pengeluaran, hematlah AC, hematlah penggunaan kaca lebih kecil yang didesain dengan orientasi yang benar, biasanya itu diabaikan sampai saat ini," katanya.

Jatmika mengatakan kaca dalam bangunan tidaklah harus diganti dengan bahan lain, namun didesain yang benar, bahkan kalau bisa menggunakan kaca yang high performance glass. "Jadi cahaya masuk tapi panasnya tidak masuk dan seterusnya," katanya.

Sementara itu Green Building Program Leader dari IFC (International Finance Corporation) Sandra Pranoto mengatakan IFC bagian dari bank dunia berkomitmen membantu negara-negara organisasinya dalam mengurangi dampak perubahan iklim.

Dia mengatakan dampak perubahan iklim itu kalau di Indonesia bisa karena tingkat urbanisasi sangat tinggi, bahkan dari 70 persen masyarakat akan pindah ke perkotaan hingga 2025, sehingga berdampak pada bangunan gedung-gedung di perkotaan.

"Jadi gedung itu harus lebih hemat energi, karena itu IFC membantu pemerintahan untuk membuat suatu kebijakan di mana mengharuskan gedung-gedung yang dibangun lebih hemat energi maupun hemat air," katanya.