Yogyakarta (ANTARA) - Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi NasDem Muhammad Farhan mengatakan munculnya kasus kekerasan seksual yang terjadi pada lembaga pendidikan di Indonesia merupakan momentum RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) segera disahkan.
"Jadi momentum ini menjadi pas dengan upaya mempercepat pengesahan RUU TPKS, karena akan menumbuhkan kesadaran hukum dalam pikiran kita, secara proporsional," kata Farhan melalui keterangan tertulis yang diterima di Yogyakarta, Senin.
Menurut Farhan, terkait kasus kekerasan seksual oleh seorang guru di salah satu pesantren di Bandung, Jawan Barat, pihak yang perlu dihakimi adalah pelaku, bukan pesantrennya.
"Lalu bagaimana tanggung jawab lembaga tersebut. Dalam RUU TPKS ada pasal pemulihan korban, yang programnya melibatkan lembaga tempat kejadian, dalam hal ini pesantren tersebut," katanya lagi.
Ia menilai kesadaran hukum masyarakat sudah meningkat, sehingga tidak ada alasan lagi menunda pengesahan RUU TPKS.
Para pelaku kekerasan seksual, menurut dia, tidak hanya harus dijerat hukuman maksimal hingga kebiri untuk memutus mata rantai potensi pelecehan.
Lebih dari itu, mobilitas fisik maupun mobilitas sosial mereka juga perlu dibatasi, sebab dampak perbuatan pelaku merusak kondisi sosial para korban.
"Pelaku kejahatan kekerasan seksual harus menanggung beban jangka panjang, sebagai bentuk pertanggungjawaban sosial, karena korban kejahatan kekerasan seksual harus menanggung dampak jangka panjang pula," ujar Farhan.
Dia menekankan pemerintah daerah (pemda) hadir memberi perlindungan kepada para korban dengan intensif.
"Perlu kita apresiasi upaya DP3AKB Provinsi Jabar dan ibu Atalia Kamil yang 'gercep' (gerak cepat) memberi perlindungan dan pemulihan korban, bahkan jauh sebelum kasus ini diangkat di media sosial. Perlindungan psikologis dan pemenuhan kesehatan ibu dan anak (yang masih di kandungan maupun yang sudah lahir) menjadi prioritas utama," kata dia pula.
Ia mengatakan pemenuhan hak korban sebagai anak, baik kepada sang ibu yang masih usia anak-anak, termasuk anak-anak yang dikandung dan yang sudah lahir perlu diperhatikan.
"Saya mengajak semua pihak, jika ingin membantu para korban, kita kolaborasi dengan DP3AKB Provinsi Jabar. Hindari politisasi kasus ini, apalagi sampai dihubungkan dengan Pilpres 2024. Sangat tidak manusiawi," ujar Farhan.
Farhan menilai dari semua pemberatan hukuman, mulai penjara sampai kebiri kimia, ada satu hal yang belum diberlakukan yaitu pembinaan dan rehabilitasi bagi pelaku setelah menjalani hukuman.
Rehabilitasi dan pembinaan kepada pelaku, menurut dia, akan memberi ketentuan pembatasan mobilitas fisik dan mobilitas sosial pelaku. Tujuannya untuk memberikan efek jera bahwa perilaku kekerasan seksual akan membawa dampak jangka panjang kepada kehidupan para pelaku.
"Sayangnya, pidana kekerasan seksual bukan masuk kategori 'extraordinary crime', sehingga tidak bisa berlaku surut, akibatnya perilaku kejahatan kekerasan seksual tidak bisa diusut sampai ke tindakan sang pelaku di masa lalu," kata dia lagi.
Berita Lainnya
Korban kekerasan seksual jangan di-"pingpong"
Sabtu, 4 Mei 2024 5:57 Wib
Pemerintah atasi kekerasan di satuan pendidikan di Indonesia tuai apresiasi FSGI
Jumat, 3 Mei 2024 0:16 Wib
Orang tua diminta mengawasi aktivitas anak di internet
Kamis, 2 Mei 2024 15:03 Wib
Pemerintah kaji rekomendasi blokir gim daring kekerasan
Rabu, 1 Mei 2024 15:53 Wib
Pemerintah diminta blokir gim daring mengandung kekerasan
Sabtu, 27 April 2024 16:03 Wib
Gim mengandung kekerasan-rusak moral bangsa disorot
Jumat, 26 April 2024 8:01 Wib
Rektor UNU Gorontalo: Saya tak melakukan kekerasan seksual
Minggu, 21 April 2024 10:54 Wib
Segera selesai, Perpres Perlindungan Anak dari game online
Kamis, 18 April 2024 4:16 Wib