Politik berbasis figur tidak manjur

id pilitik uang caleg

Politik berbasis figur tidak manjur

Ilustrasi (Foto antaranews.com)

Jogja  (Antara Jogja) - Politik berbasis figur tampaknya tidak manjur pada Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, 9 April lalu.

Meski rekapitulasi penghitungan suara yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum belum tuntas, sejumlah prediksi menyebutkan bahwa banyak pesohor, figur atau tokoh, maupun politikus yang sangat dikenal tidak akan lolos menjadi anggota legislatif.

Bahkan, sebagian di antara mereka yang merupakan anggota parlemen, diprediksi tidak akan lagi duduk di kursi dewan periode mendatang. Ketenaran mereka dikalahkan oleh calon anggota legislatif yang mengandalkan politik uang.

Pesta demokrasi yang diwarnai politik uang yang sangat mencolok itu juga menjadi keprihatinan Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas). Gubernur Lemhannas Budi Susilo Soepandji bahkan mengkhawatirkan dampaknya pada pembentukan moral serta karakter bangsa.

Budi Susilo Soepandji mengatakan bahwa praktik politik uang dalam Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD 2014 semakin banyak terjadi, dan bisa berdampak pada pembentukan moral serta karakter bangsa.

"Lemhannas inginnya ada penurunan `money politic`, tetapi hasil (laporan) yang masuk, masih banyak yang menggunakan `money politic`. Padahal, kualitas sumber daya manusia pada era demokrasi penting, terkait dengan moral, karakter, dan kejujuran," katanya di Jakarta.

Budi mengatakan bahwa Lemhannas dalam waktu dekat akan segera menggelar diskusi dengan partai politik dan para pakar untuk membicarakan masalah politik uang ini.

Lemhannas, kata dia, pada saatnya nanti juga akan melakukan pembicaraan dengan capres-capres yang akan maju dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, untuk mengantisipasi adanya politik uang yang mungkin terjadi dalam pemilu tersebut.

Kepentingan Lemhannas, menurut dia, adalah menjaga kesatuan dalam kehidupan berbangsa serta bernegara, tidak terkecuali semangat persatuan dalam persaingan politik.

"Lemhannas ingin menang-kalah dalam politik itu, semangat kesatuan harus tetap ada. Kami akan segera berdiskusi dengan partai politik dan pakar," ujar Budi.

Ia mengatakan bahwa Lemhannas akan terus melakukan pendidikan kebangsaan kepada pemimpin daerah, baik wali kota, bupati, maupun DPRD, agar pemimpin daerah terus menjunjung tinggi semangat kebangsaan.

Sementara itu, politikus Partai Demokrat Ramadhan Pohan menilai politik uang dalam pemilu anggota legislatif 9 April 2014 sudah terlalu parah karena terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia, secara terstruktur, sistematis, dan masif.

"Politik uang sekarang terlalu parah. Tentu tidak bisa kita katakan setiap calon anggota legislatif terpilih itu karena pakai uang, tidak begitu juga, tetapi persentase politik uang ini kentara sekali di seluruh wilayah, secara terstruktur, sistematis dan masif," ujar Pohan di Jakarta.

Pohan yang juga maju sebagai calon anggota legislatif (caleg) Daerah Pemilihan Sumatera I mengaku pernah mendengar ada sejumlah orang yang mempertanyakan ada tidaknya upeti atau imbalan yang diterima jika memilih dirinya. "Mereka tanya, ini Bang Pohan ada `gizi`-nya (uangnya) nggak, ada `NPWP`-nya nggak. NPWP itu `nomor piro wani piro`," katanya.

Selain itu, menurut dia, banyak pemberitaan mengenai ditangkapnya calo-calo perantara yang membagikan uang dari oknum caleg untuk masyarakat.

Ia mengatakan bahwa rakyat tidak dapat disalahkan atas praktik politik uang yang terjadi.

Menurut dia, praktik politik uang murni tanggung jawab pihak terkait yang seharusnya tidak hanya menjadi pengawas, tetapi mampu bertindak melakukan pencegahan.



Belajar Berpolitik Sehat

Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Hamdan Daulay mengatakan bahwa partai politik di Indonesia saat ini masih perlu belajar tata cara berpolitik secara sehat, seperti yang diterapkan di negara-negara maju.

"Partai-partai di negara berkembang, seperti Indonesia, konsep persaingan politiknya rata-rata memang masih bercorak kolutif dan kombatif. Politik sehat masih jauh dari Indonesia," kata Hamdan di Yogyakarta.

Menurut dia, model kompetisi politik secara sehat hanya dapat diterapkan di Indonesia apabila elite partai serta konstituennya telah memiliki kesadaran siap menang dan siap kalah dalam kontestasi politik.

Sementara itu, kata dia, kondisi saat ini menggambarkan bahwa budaya politik uang, praktik intimidasi politik masih turun-temurun diabadikan oleh hampir seluruh partai politik di Indonesia untuk mencapai kursi kekuasaan. "Kenyataannya pada pemilu anggota legislatif kemarin masih banyak yang melakukan kampanye gelap, serta menggencarkan politik uang. Itu artinya, belum siap berpolitik secara sehat," katanya.

Di sisi lain kelemahan itu, menurut dia juga masih diperkuat dengan rendahnya minat masyarakat untuk memilih secara sehat. Sebagian masyarakat masih memilih berdasarkan keuntungan materi sesaat yang diberikan oleh partai melalui politik uang. "Jadi, menurut saya saat ini orang dipilih belum jaminan berdasarkan kualitasnya, melainkan karena uangnya," katanya.

Ia menyarankan penerapan politik sehat di Indonesia harus didukung dengan upaya pendidikan politik yang serius. Pendidikan politik yang serius, menurut dia, harus mampu membuat masyarakat lebih maju dan cerdas dalam menggunakan hak pilihnya.

Oleh karena itu, kata dia, upaya pendidikan politik harus dilakukan oleh berbagai pihak, yang meliputi media massa, lembaga swadaya masyarakat (LSM), serta kelompok masyarakat dan Pemerintah. "Untuk benar-benar bisa masuk ke sana (politik sehat), perlu ada dukungan dari semua pihak. Pendidikan politik dari partai politik saja masih belum efektif," katanya.



Meninggalkan Basis Akar Rumput

Pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Purwo Santoso bahkan melihat sebagian partai politik (parpol) mulai meninggalkan basis akar rumput.

Menurut dia, ada kecenderungan parpol menganggap basis akar rumput tidak lagi penting dalam politik.

Penilaian tersebut, kata dia setelah mencermati survei yang dilakukan kerja sama UGM dengan University of Oslo. Survei dilakukan di 30 kabupaten/kota di Indonesia dengan melibatkan narasumber 592 aktivis prodemokrasi sejak awal 2013 hingga 2014.

Ia menyebutkan ada empat temuan penting dari survei tersebut, di antaranya perkembangan demokrasi Indonesia mengarah pada politik berbasis ketokohan khususnya mereka yang menduduki posisi publik, seperti pimpinan daerah.

Purwo Santoso menilai meskipun tokoh atau figur politikus menggunakan organisasi/parpol, itu sifatnya pragmatis, hanya untuk memobilisasi pemilih saat pemilu. Setelah pemilu usai, organisasi terlupakan.

Politik berbasis figur itu, menurut dia, ditandai kebutuhan para figur untuk populer melalui media massa. Mereka lebih peduli pada upaya memperkuat basis kekuasaan dan popularitasnya, daripada membuka serta mengajak perdebatan tentang kebijakan.

"Itulah yang muncul selama ini, yang kita kenal sebagai politik pencitraan," kata Guru Besar Fisipol UGM ini.

(U.M008)
Pewarta :
Editor: Heru Jarot Cahyono
COPYRIGHT © ANTARA 2024