Jogja (Antara Jogja) - Tata kelola industri ekstraktif harus dirumuskan dan dikawal dengan baik oleh kekuatan kelompok masyarakat sipil, kata Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Purwo Santoso.
"Apabila industri yang bahan bakunya diambil langsung dari alam itu tidak dikelola dengan baik, dikhawatirkan akan menimbulkan kerawanan sosial karena konflik kepentingan ekonomi," katanya di Yogyakarta, Senin.
Pada pelatihan "Improving the Governance of Extractive Industri: Asia Pasific Hub on Extractive Industries", ia mengatakan sumber daya alam yang besar bisa menjadi petaka padahal seharusnya bisa menjadi berkah bersama.
Ia mengatakan daerah yang memiliki sumber kekayaan alam yang berlimpah mendorong tumbuhnya industri ekstraktif. Selain mampu mengundang investor dan perputaran uang dalam jumlah besar bahkan masuknya teknologi maju, industri ekstraktif itu masih dikuasai segelintir elit politik dan elit ekonomi.
"Kelompok kecil masyarakat yang menguasai sumber daya yang besar itu bisa menyebabkan pertumpahan darah. Hal itu yang dialami oleh negara-negara di Afrika, yang disebut ancaman kutukan sumber daya alam," katanya.
Di Indonesia, kata dia, kandungan sumber daya alam setiap daerah beragam. Daerah-daerah seperti Aceh, Kalimantan Timur, Papua, dan Bojonegoro merupakan daerah yang memiliki potensi tersebut.
"Namun, kekayaan sumber daya alam seperti minyak dan gas bumi, batu bara serta bahan tambang lainnya bisa menjadi sumber konflik dan rawan sumber tindak pidana korupsi jika tidak dikelola dengan baik," katanya.
Oleh karena itu, Jurusan Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM, Revenue Watch Institute, dan USAID memfasilitasi pelatihan tata kelola industri esktraktif yang diikuti aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) se-Asia Pasifik.
"Sebanyak 31 aktivis LSM dari 10 negara itu membahas proses pengawasan dan transparansi tata kelola pemanfaatan kekayaan sumber daya alam. Para aktivis LSM itu akan berbagi pengalaman dan pengetahuan dalam memperbaiki tata kelola industri ektraktif," katanya.
Menurut dia, para aktivis itu berasal dari Malaysia, Kamboja, Myanmar, Afghanistan, Filipina, Timor Leste, Singapura, Vietnam, Lebanon, dan Indonesia.
"Pelatihan yang berlangsung hingga 10 Mei 2014 itu akan membahas isu-isu terkait industri ekstraktif seperti dampak sosial lingkungan, manajemen pendapatan, pajak, royalti, dan kontrak kerja. Selain itu juga memperluas persyaratan transparansi industri ekstraktif," katanya.
(B015)