Buruh Yogyakarta demo tuntut UMK Rp2,4 juta hingga Rp2,9 juta

id Buruh

Buruh Yogyakarta  demo tuntut UMK Rp2,4  juta hingga Rp2,9 juta

Belasan buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta menggelar aksi unjuk rasa di Titik Nol Kilometer Yogyakarta, Rabu. (Foto Antara/Luqman Hakim)

Yogyakarta (Antaranews Jogja) - Belasan buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta menggelar aksi unjuk rasa di Titik Nol Kilometer Yogyakarta, Rabu, untuk menuntut ditetapkannya upah minimum kabupaten/kota (UMK) di daerah ini sebesar Rp2,4-Rp2,9 juta.
     
"Idealnya upah minum di Yogyakarta Rp2,4 sampai Rp2,9 juta paling rendah di Gunung Kidul dan paling tinggi di Kota Yogyakarta," kata Wakil Sekretaris DPD Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Agus Adi Irawan saat ditemui di sela aksi.
       
Menurut Agus, aksi tersebut sekaligus menolak upah minimum provinsi (UMP) DIY yang telah ditetapkan sebesar Rp1,5 juta dan akan diumumkan secara resmi oleh Pemda DIY pada 1 November 2018.
       
Agus menilai penetapan upah minimum provinsi sebesar Rp1,5 juta belum cukup membuat buruh di Yogyakarta menjadi sejahtera. Upah sebesar itu, menurut dia, hanya akan melestarikan kemiskinan.
       
"Upah sebesar itu hanya mengakibatkan daya beli buruh rendah sehingga tidak mampu mencukupi Kebutuhan Hidup Layak," kata dia.
         
Berdasarkan hasil survei KHL versi buruh di Yogyakarta, menurut dia, UMP serta UMK di Yogyakarta 2019 untuk provinsi seharusnya mencapai Rp2,5 juta, Kota Yogyakarta Rp2.911.516, Kabupaten Sleman Rp2.584.273, Kabupaten Bantul Rp2.748.289, Kulon Progo Rp2.584.273, dan Kabupaten Gunung Kidul sebesar Rp2.440.517.
       
"Kami telah menyampaikan hasil survei KHL ini kepada Pemda DIY melalui surat. Kami juga telah mengajukan audiensi kepada Pemda DIY dan DPRD DIY namun belum ada respons," kata dia.
         
Koordinator aksi, Muhammad M Yusron menilai penghituangan UMP berdasarkan PP Nomor 78/2015 tidak relevan karena kenaikan upah berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi tidak mencerminkan kebutuhan hidup layak bagi buruh dan keluarganya.
           
"PP 78/2015 sebagai turunan dari kebijakan politik upah murah semakin tidak menemukan relevansinya jika harus diterapkan di DIY sebagai provinsi dengan ketimpangan tertinggi di Indonesia," kata dia.