Kabar: banyak mispersepsi tentang kandungan berbahaya pada rokok

id rokok

Kabar: banyak mispersepsi tentang kandungan berbahaya pada rokok

Moderator diskusi "Mencari Solusi Atasi Masalah Rokok" Dr Sharon (kiri) dan para pembicara Dr Amaliya (dua dari kiri), Dr Ardini (tiga dari kiri), Ariyo Bimmo (kanan) (Foto Istimewa)

Yogyakarta (Antaranews Jogja) - Ketua Koalisi Indonesia Bebas TAR (Kabar) Dr drg Amaliya mengemukakan selama "roadshow" yang telah dilakukan sejak April 2018 mendapati masih banyak mispersepsi tentang kandungan berbahaya pada rokok.

"Banyak yang mengira kalau nikotin adalah kandungan yang paling berbahaya pada rokok, padahal sebenarnya yang paling berbahaya itu TAR," kata Amaliya yang juga peneliti Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP) Indonesia, di Yogyakarta, Rabu.

Pada diskusi "Mencari Solusi Atasi Masalah Rokok", Amaliya mengatakan TAR dihasilkan dari proses pembakaran rokok yang dapat memicu berbagai penyakit berbahaya pada tubuh, bukan nikotin. Namun, yang mesti diketahui, nikotin juga tidak bebas risiko. 

Oleh karena itu, menurut dia, penelitian lebih lanjut mengenai produk tembakau alternatif mutlak diperlukan untuk membenarkan persepsi dan menggali lebih dalam atas potensi yang dimiliki.

"Publikasi dari hasil penelitian juga diharapkan bisa dipaparkan secara terbuka sehingga pembuat kebijakan, perokok dewasa, serta masyarakat dapat mengetahui dan memutuskan dengan lebih tepat mengenai produk tembakau alternatif," katanya.

Ia mengatakan metode "harm reduction" atau pengurangan risiko yang ada pada produk tembakau alternatif seperti rokok elektrik dan produk tembakau yang dipanaskan bukan dibakar dapat mengeliminasi TAR.

"Dengan demikian, risiko kesehatannya menjadi lebih rendah. Oleh karena itu, ada baiknya kita mempertimbangkan metode pengurangan risiko tersebut sebagai metode yang dapat membantu mengurangi angka perokok di Indonesia," kata Amaliya.

Dewan Penasihat Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Jawa Barat, Dr Ardini Raksanagara menjelaskan bahwa pada dasarnya metode pengurangan risiko itu merupakan salah satu opsi peralihan konsumsi rokok ke produk tembakau alternatif yang lebih rendah risiko.

"Dalam konteks keilmuan kesehatan masyarakat, metode itu telah banyak diterapkan, bukan hanya pada produk tembakau saja," kata Ardini yang juga dosen Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Padjadjaran Bandung.

Pengamat hukum Ariyo Bimmo mengatakan bahwa regulasi yang komprehensif terkait produk tembakau alternatif di Indonesia sangat diperlukan. Pemerintah perlu menyusun regulasi yang lebih menyeluruh bagi produk tersebut.

"Regulasi menyeluruh itu termasuk aturan produk, penjualan, promosi, iklan, 'sponsorship', serta tempat di mana produk tembakau alternatif bisa dikonsumsi," kata Bimo.

Kabar sebelumnya telah melakukan "roadshow" di empat kota, yakni Jakarta, Bandung, Bali, dan Palembang.
Pewarta :
Editor: Bambang Sutopo Hadi
COPYRIGHT © ANTARA 2024