Jakarta (ANTARA) - Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan COVID-19 Achmad Yurianto mengatakan ada perubahan beberapa istilah dalam definisi operasional Keputusan Menteri Kesehatan (KMK) Nomor HK.01.07/Menkes/413/2020 mengenai Pedoman Pencegahan dan Pengendalian COVID-19.
"Kita tidak lagi menggunakan definisi operasional yang ada di revisi 5 dengan istilah orang dalam pemantauan (ODP), pasien dalam pengawasan (PDP), orang tanpa gejala (OTG), kasus konfirmasi, kita akan ubah menjadi kasus suspek (suspect), kasus 'probable'. Kemudian kita juga akan mendefinisikan tentang kasus konfirmasi, kemudian kontak erat, pelaku perjalanan, 'discarded', selesai isolasi, dan kematian," katanya dalam konferensi pers bersama Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 di Graha BNPB Jakarta, Selasa.
Secara prinsip dan mendasar, katanya, tidak ada perubahan dalam identifikasi kasus COVID-19, tetap dengan menggunakan basis penegakan diagnosis, pemeriksaan antigen dengan real time polymerase chain reaction (RT-PCR), atau menggunakan Tes Cepat Molekuler (TCM).
"Sekali lagi ini berbasis pada pemeriksaan antigen, bukan melakukan pemeriksaan antibodi," katanya.
Secara garis besar kasus suspek memiliki tiga kriteria, di antaranya kasus infeksi saluran pernapasan akut yang di dalam riwayat penyakitnya dalam 14 hari sebelum sakit orang yang bersangkutan berasal atau tinggal di daerah yang sudah terjadi penularan lokal.
"Maka kita masukkan ini dalam kelompok suspek," katanya.
Yurianto mengatakan kasus suspek juga meliputi orang yang dalam 14 hari terakhir pernah kontak dengan kasus yang sudah terkonfirmasi positif atau kontak dengan kasus probable.
"Kontak dalam hal ini adalah kontak dekat. Kontak dekat kurang dari 1 meter tanpa pelindung dengan waktu sekitar lebih dari setengah jam dan seterusnya. Maka ini juga kita masukkan di dalam kelompok kasus suspek," katanya.
Orang yang mengalami infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) berat dan harus dirawat di rumah sakit, sementara tidak ditemukan penyebabnya secara spesifik yang meyakinkan bahwa itu bukan penyakit COVID-19, maka kasus tersebut juga masuk dalam kategori kasus suspek.
"Kalau kita lihat pada revisi keempat. Maka semua kasus PDP adalah kasus suspek. Bahkan kasus ODP, di mana ada keluhan ISPA dan pernah kontak dengan kasus terkonfirmasi positif, itu pun masuk di dalam kasus suspek," ujar Yurianto lebih lanjut.
Istilah baru berikutnya yang dijelaskan dalam KMK yang ditandatangani oleh Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto pada 13 Juli 2020 adalah kasus probable.
Kasus probable, kata Yurianto, adalah kasus pada penderita infeksi saluran pernapasan berat yang disertai dengan gangguan pernapasan, ARDS (Sindrom distres pernapasan akut) atau kemudian meninggal dengan definisi klinis yang meyakinkan bahwa kasus tersebut adalah COVID-19.
"Itu bisa kita dapat dari gambaran rontgen paru misalnya. Kita dapatkan dari gambaran hasil pemeriksaan laboratorium darah misalnya. Dan ini belum terkonfirmasi pemeriksaan RT PCR. Maka ini kita masukkan di dalam kasus probable," ujarnya.
Dengan demikian, kasus probable adalah kasus yang secara klinis diyakini sebagai COVID-19, kondisinya dalam keadaan berat dengan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) atau ISPA berat, dengan gangguan pernapasan yang sangat terlihat, namun belum dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis melalui RT-PCR.
Yurianto juga menjelaskan definisi kontak erat, yang diartikan dengan seseorang yang melakukan kontak dengan kasus konfirmasi positif atau dengan kasus probable.
Kasus konfirmasi positif, kata dia, orang-orang yang terkonfirmasi positif melalui pemeriksaan PCR, baik dengan gejala atau simtomatis maupun tanpa gejala atau asimtomatis.
"Ini adalah termasuk di dalam kelompok pasien yang konfirmasi (positif, red.)," katanya.
Definisi pelaku perjalanan adalah seseorang yang melakukan perjalanan dari dalam negeri (domestik) maupun luar negeri pada 14 hari terakhir.
Ia mengatakan discarded meliputi kriteria seseorang dengan status kasus suspek dengan hasil pemeriksaan RT-PCR dua kali negatif selama dua hari berturut-turut dengan selang waktu lebih dari 24 jam dan seseorang dengan status kontak erat yang telah menyelesaikan masa karantina selama 14 hari.
Istilah selesai isolasi didefinisikan dalam beberapa kategori, antara lain kasus konfirmasi tanpa gejala (asimtomatik) yang tidak dilakukan pemeriksaan RT-PCR lanjutan dengan ditambah 10 hari isolasi mandiri sejak pengambilan spesimen diagnosis konfirmasi.
Selesai isolasi juga mencakup definisi kasus probable/kasus konfirmasi dengan gejala yang tidak dilakukan pemeriksaan RT-PCR lanjutan dihitung 10 hari sejak tanggal onset dengan ditambah minimal tiga hari setelah tidak lagi menunjukkan gejala demam dan gangguan pernapasan, serta kasus probable/kasus konfirmasi dengan gejala yang mendapatkan hasil pemeriksaan RT-PCR lanjutan satu kali negatif, dengan ditambah minimal tiga hari setelah tidak lagi menunjukkan gejala demam dan gangguan pernapasan.
Kematian COVID-19 didefinisikan sebagai kasus terkonfirmasi positif atau probable yang meninggal akibat COVID-19.
Berita Lainnya
Pasien rawat inap Covid-19 meningkat enam kali lipat di Korea Selatan
Jumat, 9 Agustus 2024 12:48 Wib
Belanja MICE di Indonesia diperkirakan melonjak 17 persen
Minggu, 4 Agustus 2024 15:24 Wib
Kasus COVID-19 di Jepang melonjak
Sabtu, 27 Juli 2024 21:47 Wib
Pascaisolasi COVID-19, Joe Biden kembali ke Gedung Putih
Rabu, 24 Juli 2024 19:52 Wib
Australia diterpa varian baru COVID-19
Sabtu, 20 Juli 2024 19:30 Wib
Sejak pandemi COVID-19, RI catat kunjungan wisatawan mancanegara tertinggi
Rabu, 3 Juli 2024 10:13 Wib
Jokowi: Batas waktu restrukturisasi kredit COVID-19 diundurkan
Senin, 24 Juni 2024 17:14 Wib
Pemerintah minta masyarakat terapkan prokes waspadai COVID-19 Varian KP.1-KP.2 di RI
Kamis, 23 Mei 2024 7:15 Wib