Yogyakarta (ANTARA) - Pemerintah Kota Yogyakarta terus mengupayakan perubahan paradigma masyarakat terhadap sampah, yaitu tidak lagi membuang, tetapi mengolah, sehingga mampu mengurangi volume sampah yang dibuang ke tempat pembuangan akhir di Piyungan.
“Perubahan paradigma ini sangat penting karena masyarakat tidak bisa terus menerus mengandalkan tempat pembuangan akhir (TPA) untuk membuang sampah. Suatu saat, lokasi tersebut tidak akan mampu lagi menampung sampah,” kata Wakil Wali Kota Yogyakarta Heroe Poerwadi, saat menyerahkan bantuan gerobak sampah ke Bank Sampah Berseri di Yogyakarta, Rabu.
Menurut dia, masyarakat perlu memahami bahwa sampah organik maupun anorganik yang diolah dengan baik akan memiliki nilai ekonomi yang dapat menjadi pendapatan masyarakat.
Penekanan pada nilai ekonomi dalam mengolah sampah, lanjut Heroe, menjadi penting disampaikan ke masyarakat agar mendukung upaya perubahan paradigma terhadap sampah.
Pemerintah Kota Yogyakarta sudah menjalin kerja sama dengan perguruan tinggi serta komunitas untuk membantu masyarakat mengelola sampah dari lingkungan masing-masing.
“Beberapa tahun lalu, kami sudah bekerja sama dengan Institut Seni Indonesia (ISI) untuk membantu mengolah sampah anorganik dan kerja sama ini akan ditingkatkan,” katanya.
Sampah anorganik yang dikelola bank sampah diubah menjadi berbagai kerajinan yang memiliki nilai jual.
Sementara untuk pengolahan sampah organik dilakukan dengan membuat pupuk kompos dan eco enzyme serta dimungkinkan untuk pengolahan pakan ikan dari bekas sisa makanan.
“Sudah ada tawaran dari komunitas untuk mengolah sisa makanan dari restoran, hotel atau dari rumah tangga menjadi pakan ikan. Ini akan membantu peternak ikan untuk menyiasati harga pakan yang dinilai masih mahal,” katanya.
Berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta, volume sampah dari Kota Yogyakarta yang dibuang ke TPA Piyungan rata-rata mencapai 340 ton per hari.
“Harapannya, ada penurunan hingga 20 ton pada tahun ini sehingga sampah yang dibuang ke TPA tersisa sekitar 320 ton per hari,” kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta Sugeng Darmanto.
Sugeng menyebut target tersebut dapat dicapai asalkan paradigma masyarakat terhadap sampah bisa berubah, yaitu mengolah sampah sejak dari rumah tangga dan membuang sampah yang benar-benar tidak terpakai.
Sementara itu, Ketua Bank Sampah Berseri Kelurahan Bumijo Purwan Kamtini mengatakan bank sampah di wilayah tersebut terbentuk sejak 2016, tetapi kemudian vakum cukup lama.
“Kami baru kembali aktif pada 2019 dan mengelola sampah organik serta sampah anorganik,” katanya, searaya menyebut bank sampah tersebut menjadi juara dua tingkat Kota Yogyakarta Tahun 2021.
Sampah anorganik yang dikelola, meliputi kardus, botol bekas, plastik dan lainnya. Sampah yang terkumpul kemudian dijual ke pengepul satu bulan sekali.
Untuk sampah organik dilakukan pengolahan melalui Program Losida (lodong sisa dapur), yaitu mengumpulkan sisa makanan dari rumah warga yang dimasukkan ke pipa paralon.
Setelah satu bulan, sampah sisa makanan tersebut akan berubah menjadi pupuk.
“Kami juga mengolah sisa kulit buah menjadi eco enzyme. Hasilnya bisa dimanfaatkan untuk berbagai hal, mulai dari mencuci, disinfektan dan membersihkan kompor,” katanya.
Selain itu, bank sampah juga membuat pembalut kain untuk mengurangi sampah pembalut.
“Hasilnya cukup baik. Bisa menekan jumlah sampah yang dibuang. Biasanya tiga atau empat kali menjadi dua kali saja per hari,” katanya.