Menko PMK : Pencarian penyakit berpotensi mewabah dilakukan pasif-aktif

id penyakit menular, wabah, Hepatitis akut, Hepatitis misterius

Menko PMK : Pencarian penyakit berpotensi mewabah dilakukan pasif-aktif

Menko PMK Muhadjir Effendy. (ANTARA/HO-Kemenko PMK).

Jakarta (ANTARA) - Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengatakan upaya pencarian sejumlah penyakit menular yang berpotensi mewabah di Indonesia dilakukan melalui metode pasif dan aktif.

"Penemuan kasus secara pasif melalui penerimaan laporan atau informasi kasus dari fasilitas pelayanan kesehatan, meliputi diagnosis secara klinis dan konfirmasi laboratorium," kata Muhadjir Effendy yang dikonfirmasi ANTARA di Jakarta, Ahad.

Sementara penemuan kasus secara aktif melalui kunjungan lapangan untuk melakukan penegakan diagnosis secara epidemiologi berdasarkan gambaran umum penyakit menular tertentu yang dapat menimbulkan wabah.



"Upaya itu diikuti dengan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan laboratorium," katanya.

Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu mengatakan hepatitis dan yellow fever seringkali ditandai dengan gejala kuning. "Kanal laporan kejadian akut sudah siap melalui Sistem Kewaspadaan Dini dan Respons (SKDR) yang ada di puskesmas bila diperlukan," ujarnya.

Muhadjir mengatakan penemuan penyakit menular yang dapat menimbulkan wabah dapat dilakukan secara pasif dan aktif sesuai Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1501/Menkes/Per/X/2010 tentang Jenis Penyakit Menular Tertentu Yang Dapat Menimbulkan Wabah dan Upaya Penanggulangan.



Muhadjir mengatakan saat ini terdapat 17 jenis penyakit menular tertentu yang dapat menimbulkan wabah, yakni kolera, pes, demam berdarah dengue, campak, polio, difteri, pertusis, rabies, malaria, avian influenza (H5N1), antraks, leptospirosis, hepatitis, influenza A baru (H1N1) meningitis, yellow fever dan chikungunya.

Namun tidak semua penyakit tersebut didukung dengan sarana dan prasarana yang memadai di Indonesia. Salah satunya sistem skrining hepatitis D dan E di Indonesia yang masih sangat terbatas, kata Muhadjir menambahkan.

"Betul, memang skrining hepatitis D dan E adalah skrining lanjutan dengan biayanya tidak murah dan hanya dilakukan dengan terlebih dahulu adanya indikasi, sehingga tidak semua laboratorium siap dengan pemeriksaan tersebut," katanya.



Dikatakan Muhadjir upaya pelacakan kasus hepatitis D dan E bisa dimulai dengan survailens terhadap gejala awal hepatitis yang perlu diwaspadai, di antaranya demam, mual, muntah, nyeri perut, warna pada feses serupa teh atau dempul.

Sedangkan gejala kuning atau ichterus adalah gejala lanjutan yang sudah perlu dirujuk ke rumah sakit khusus.



"Perbaiki sistem informasi rujukan laboratorium yang mampu mendeteksi hepatitis A,B,C,D dan E," katanya.

Bila secara epidemiologi kasus terus meningkat, kata Muhadjir, maka segera perkuat kemampuan laboratorium sesuai prioritas berdasarkan keberadaan ahli atau tenaga laboratorium dan sarana pendukungnya.



 
Pewarta :
Editor: Victorianus Sat Pranyoto
COPYRIGHT © ANTARA 2024