Nasi bungkus menuju ekosistem kuliner Indonesia

id NASI BUNGKUS

Nasi bungkus menuju ekosistem kuliner Indonesia

Pakar kuliner Indonesia, William Wongso dalam pidato kebudayaan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Jumat (10/11/2023). ANTARA/Risky Syukur

Jakarta (ANTARA) - Siapa yang tidak tahu nasi bungkus? Setidaknya hampir semua warga negara Indonesia yang pernah makan, tahu akan nasi bungkus. Nasi bungkus telah sekian lama menjadi ciri khas dalam cara orang Indonesia berkuliner. Mulai dari nasi yang dibungkus dengan daun pisang hingga nasi yang dibungkus dengan kertas minyak. Singkatnya, nasi bungkus tak bisa dipisahkan dari cara orang Indonesia makan atau menikmati kuliner.

Jika ditelisik sedikit lebih jauh, nasi bungkus dapat dikatakan memiliki sifatnya yang universal. Mengapa demikian? Nasi bungkus merepresentasikan semua kuliner Indonesia yang dipasangkan dengan nasi. Artinya, nasi bungkus menjadi semacam etalase beragam jenis lauk khas Indonesia. Nasi bungkus bisa saja menjadi nasi ayam, nasi ikan, nasi rendang, nasi telur, nasi sayur, bisa juga nasi kucing yang khas dari Yogyakarta itu. Tak terbantahkan, semua itu namanya nasi bungkus.

Berbicara soal nasi bungkus, beberapa pertanyaan muncul pada publik, seperti ‘apa pentingnya nasi bungkus? Tidak adakah keunikan lain dari budaya kuliner Indonesia yang layak diperbincangkan? Apa yang bisa dibanggakan ke dunia luar dari nasi bungkus? Atau dalam hal ini, bagaimana bisa nasi bungkus memiliki tempat dalam diplomasi internasional, khususnya diplomasi perut atau dalam terminologi modern, ‘gastrodiplomasi’?

Seorang pakar kuliner kenamaan Indonesia yang telah membawa berbagai macam kuliner Indonesia ke dunia internasional, William Wongso, membawa topik tentang nasi bungkus sebagai instrumen gastrodiplomasi dalam pidato kebudayaan yang ia bawakan pada Hari Pahlawan 10 November sekaligus Hari Ulang Tahun ke-55 Taman Ismail Marzuki di Jakarta.

Di belakang panggung, sesaat sebelum pidato kebudayaan tersebut disampaikan, William menceritakan usaha ‘nasi bungkus’ yang ia buka di dua kota besar di Australia, yakni Sydney dan Melbourne. Menurutnya, mengelola usaha makanan yang autentik dari Indonesia di luar negeri cukup sulit, yang pertama karena ketersediaan koki terbatas dan juga pegawai yang hanya bekerja paruh waktu.

Karena itu, William menerapkan pola pelayanan mandiri di restorannya, di mana pelanggan mengambil makanannya sendiri. Singkatnya, kata William, restoran tersebut merupakan restoran ‘tanpa pelayanan’. Adapun nasi bungkus merupakan item makanan yang disediakan oleh William di restorannya. Pelanggan dapat memilih dua jenis sayur, dua jenis lauk dan dua jenis protein dalam satu bungkus nasi.

William tidak mengubah nama nasi bungkus ke dalam bahasa Inggris, karena ia ingin nama nasi bungkus tersebut menjadi identik dengan makanan Indonesia yang dijual di negara lain. Selain itu, dengan adanya sekitar 60 etnik migran yang ada di negara tersebut dengan kuliner khasnya masing-masing, ia ingin memunculkan nasi bungkus sebagai khas dari Indonesia. Nama nasi bungkus juga sudah termasuk dengan bumbu-bumbu yang ia impor langsung dari Indonesia.

Pertanyaannya kemudian, apakah William hanya menyediakan nasi bungkus untuk warga Indonesia yang ada di Negeri Kanguru tersebut? Ataukah ada tujuan yang lebih besar, yang lebih ideologis?
 

Nasi bungkus dan ekosistem kuliner Indonesia

Menilik signifikansi kuliner sebagai identitas sebuah negara serta perannya dalam dunia pariwisata, William menjual nasi bungkus di luar negeri bukan hanya untuk mencari keuntungan tetapi untuk sebuah tujuan yang lebih ideologis. Menurutnya, kuliner dalam negeri yang dikenal negara lain menjadi pintu masuk (entry point) untuk mewujudkan ekosistem kuliner di Indonesia, khususnya dalam konsep pariwisata


Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Gastrodiplomasi nasi bungkus menuju ekosistem kuliner Indonesia
Pewarta :
Editor: Herry Soebanto
COPYRIGHT © ANTARA 2024