Yogyakarta (ANTARA) - Proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCIC) atau "Kereta Cepat Whoosh" kembali menjadi sorotan publik setelah muncul isu pembengkakan biaya serta dugaan penyimpangan dalam proses pengerjaannya.
Guru Besar Teknik Sipil Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) sekaligus pakar perkeretaapian nasional, Prof. Sri Atmaja Putra Jatining Nugraha Nasir Rosyidi menilai potensi terjadinya penyelewengan anggaran dalam proyek tersebut sangat mungkin terjadi, terlebih karena skema pembiayaan serta proses pengerjaan yang dinilai kurang transparan.
Sri Atmaja menjelaskan bahwa persoalan penyimpangan anggaran di proyek infrastruktur bukanlah hal baru di Indonesia.
Ia mengaitkan fenomena KCIC dengan berbagai kasus korupsi di sektor konstruksi yang sebelumnya banyak menjerat pejabat pembuat komitmen.
"Kita sudah maklum. Banyak pejabat pembuat komitmen masuk penjara karena korupsi konstruksi. Itu saja APBN diawasi BPK dan inspektorat, tapi masih bisa bocor. Apalagi KCIC yang sejak awal tidak menggunakan skema APBN langsung," ujar dia di Laboratorium Teknik Sipil UMY, Jumat.
Menurut Sri Atmaja, terdapat dua persoalan fundamental yang membuka pintu terjadinya korupsi dalam proyek konstruksi. Pertama, sumber daya manusia (SDM) yang tidak kompeten dan kurang berkomitmen.
PPK yang seharusnya menjadi ujung tombak pengawalan keuangan negara seringkali minim kemampuan teknis dan tidak memahami tanggung jawab moral dalam memastikan anggaran digunakan secara efektif.
Kedua, yaitu lemahnya kemampuan teknis dalam memahami materi maupun proses konstruksi. PPK sering tidak mampu menilai kualitas dokumen tender maupun aktivitas pembangunan di lapangan. Celah inilah yang biasa dimanfaatkan untuk "mengatur" proyek.
"PPK itu kekuasaannya besar. Tender bisa diatur, pemenang bisa ditentukan. Banyak perusahaan bahkan membuat perusahaan fiktif hanya untuk 'meramaikan' persaingan. Itu praktik yang sering terjadi," jelasnya.
Ia menambahkan, tender yang tidak transparan membuka ruang permainan harga bahkan sebelum proyek dimulai.
Ketika perusahaan konstruksi harus mengeluarkan biaya "di luar administrasi resmi", margin keuntungan mereka menyempit sehingga penghematan dilakukan pada tahap yang paling mudah dimanipulasi: Kualitas material.
"Beton tetap terlihat seperti beton. Tapi jika kualitasnya diturunkan dari standar A ke B, jembatan yang seharusnya bertahan 50 tahun bisa rusak dalam 20–30 tahun. Pada akhirnya masyarakat yang paling dirugikan karena infrastruktur tidak memiliki umur manfaat sesuai perencanaan," ungkapnya.
Skema pembiayaan KCIC yang sejak awal tidak menggunakan APBN langsung, menurut Sri Atmaja, semakin memperlebar celah penyimpangan karena mekanisme pengawasan publik menjadi lebih tipis dibanding proyek-proyek berbasis APBN.
"Proyek ini sangat tertutup. Public accountability-nya tidak kelihatan. Tiba-tiba negara harus ikut menutup pembengkakan biaya. Itu sudah menjadi tanda tanya besar," kata dia.
Terkait dugaan mark-up, Sri Atmaja menyebut praktik tersebut sebagai modus klasik korupsi.
Perbedaan harga material yang tampak kecil dapat berujung kerugian besar mengingat sebagian besar konstruksi KCIC bersifat "elevated" dan membutuhkan volume beton dalam jumlah raksasa.
"Bayangkan kalau volume beton dimark-up sedikit saja. Selisihnya bisa ratusan juta. Kalau dikalikan skala proyek yang luar biasa besar ini, kerugiannya bisa sangat masif," jelasnya.
Dia mendorong perlunya audit independen yang benar-benar objektif, bukan sekadar audit internal pemerintah atau pihak proyek, untuk menelaah seluruh proses mulai dari perencanaan, pengadaan, hingga konstruksi.
