Pedagang di tanah "magersari" adukan ancaman penggusuran

id pedagang di tanah

Pedagang di tanah "magersari" adukan ancaman penggusuran

Ilustrasi

Jogja (Antara Jogja) - Lima pedagang yang menempati bangunan di tanah "magersari" atau "Sultan Ground" di Jalan Brigjen Katamso, Kota Yogyakarta, mengadukan adanya ancaman penggusuran yang dilakukan pihak pemegang "kekancingan" kepada Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta, Selasa.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta Syamsudin Nur Seha selaku kuasa hukum kelima pedagang itu, Selasa, mengatakan kliennya mengaku telah dianggap masuk batas tanah pemegang "kekancingan", yang tidak sesuai dengan surat kesepakatan bersama penentuan batas hak milik sebelumnya.

"Sebelumnya telah ada surat kesepakatan yang dibuat antara pemegang `kekancingan` dengan kelima pedagang itu. Namun, secara sepihak pemegang `kekancingan` tersebut menyalahi kesepakatan yang telah dibuat saat tanah `kekancingan` tersebut akan dibangun sebuah ruko," katanya.

Berkaitan dengan hal itu, kata dia, pihaknya akan mendorong pihak Keraton Yogyakarta untuk bisa memberikan naungan kepada kelima pedagang tersebut.

"Kami akan minta kebijaksanaan keraton, agar lebih berpihak kepada rakyat kecil, dan tidak mudah memberikan `kekancingan` kepada pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab," katanya.

Selain itu, lanjut dia, ancaman pengusiran atas kepemilikan tanah secara sepihak yang dilakukan oleh pemegang `kekancingan` telah menyalahi Undang-undang Agraria Pasal 6 yang menyebutkan tanah harus memiliki dan memperdulikan fungsi sosial.

Kelima pedagang yang menempati tanah milik keraton tersebut adalah Suwarni (47) penjual nasi, Sutinah penjual nasi (45), Budiman (57) perajin kunci, Sugiadi (47) penjual mi, serta Agung (26) penjual stiker.

Sebelumnya, kata dia, berdasarkan surat perjanjian pinjam pakai tanah milik Sri Sultan Hamengku Buwono pada 2011 disepakati bahwa tanah "kekancingan" milik Eka Aryawan ditentukan seluas 73 meter persegi dari keseluruhan tanah keraton seluas 120 meter persegi di wilayah itu.

Selanjutnya, pada 2013 kelima pedagang dengan Eka Aryawan telah membuat surat kesepakatan bersama mengenai penentuan batas hak milik tanah di wilayah tersebut, yang antara lain menyebutkan kelima pedagang tetap dizinkan berjualan selama tidak masuk dalam tanah seluas 73 meter persegi itu.

"Hingga saat ini kelima pedagang tersebut memang menempati tanah milik keraton seluas 15 meter persegi, yang sebelumnya 35 meter persegi, yang berposisi di luar dari tanah `kekancingan`," katanya.

Budiman yang menjadi perwakilan dari kelima pedagang tersebut mengatakan telah menempati tanah itu sejak 57 tahun lalu.

Menurut dia, sebelum adanya "kekancingan" yang diberikan kepada Eka Aryana, pihaknya belum pernah mendapatkan ancaman penggusuran dari pihak mana pun.

"Sejak 57 tahun lalu, sebelum ada `kekancingan` pada 2011, kami tidak mendapatkan gangguan dari pihak mana pun dalam berjualan," katanya.

Namun, kata dia, saat ini bersama dengan kelima pedagang lainnya, dirinya selalu mendapat ancaman dari pihak pemilik "kekancingan" agar segera pindah setelah ada rencana pembangunan ruko di tanah "kekancingan" itu.

"Bahkan rencananya di tanah warung tempat kami berjualan akan dibuat jalan masuk ke ruko, itu berarti mau tidak mau kami harus pindah," katanya.

(KR-LQH)
Pewarta :
Editor: Masduki Attamami
COPYRIGHT © ANTARA 2024