Pakar: filsafat Jawa sumber pendidikan karakter

id pakar: filsafat jawa

Pakar: filsafat Jawa sumber pendidikan karakter

Ilustrasi (Foto forumstudikebangsaan.blogspot.com)

Jogja (Antara Jogja) - Filsafat Jawa seperti "ngelmu kasampurnan" dan "ngelmu sangkan paraning dumadi" merupakan sumber pendidikan karakter, kata pakar pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta Sutrisna Wibawa.

"`Ngelmu kasampurnan` adalah ilmu kesempurnaan hidup dan `ngelmu sangkanparaning dumadi` merupakan ilmu asal-usul dan tujuan akhir kehidupan," katanya dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) di Yogyakarta, Rabu.

Menurut dia, filsafat Jawa lebih menekankan pentingnya "ngelmu kasampurnan" di mana manusia mencurahkan seluruh eksistensinya baik jasmani maupun rohani untuk mencapai tujuan kesempurnaan hidup.

Selain "ngelmu kasampurnan", filsafat Jawa juga menekankan "ngelmu sangkan paraning dumadi" yang dimaknai sebagai suatu ajaran yang menangani gerak rohani untuk menyatu di dalam arus kehidupan secara benar sebagai kenyataan hidup sejati.

"Ajaran `ngelmu kasampurnan` dan `ngelmu sangkan paraning dumadi` dalam filsafat Jawa itu yang tercermin dalam metafisika, epistimologi, dan aksiologi Jawa," katanya.

Selain kedua "ngelmu" tersebut, kata dia, filosofi Jawa yang tertera dalam Serat Wedhatama tentang tahapan sembah yakni sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, dan sembah rasa yang merupakan ajaran pencapaian kesempurnaan hidup manusia.

Sembah raga adalah membiasakan diri bertindak disiplin melakukan hening diri, sehingga kebiasaan itu akan menjadi watak.

Sembah cipta merupakan perpaduan antara sembah raga dengan ditambah proses konsentrasi, dengan mengikuti peraturan-peraturan yang berlaku, mengekang hawa nafsu, serta bertindak dan berkata-kata dengan waspada.

Sembah jiwa merupakan sembah yang dipersembahkan kepada Tuhan yakni dengan jalan selalu memelihara kehidupan rohani, selalu waspada dalam perbuatan, dan selalu ingat datangnya hari kemudian. Hal ini akan mendorong manusia untuk berserah diri kepada Tuhan.

Sembah rasa, bukan lagi kegiatan ritual yang menjadi titik pusat aktivitas, melainkan semua anggota badan, semua langkah kaki.

"Semua kegiatan hidup serasa mendapat rasa pasrah berserah diri dalam menunaikan kewajiban, tak lagi ragu-ragu serta penuh harap bahwa perbuatannya itu hanya diperuntukkan untuk kedamaian hidup," katanya.

(B015)
Pewarta :
Editor: Masduki Attamami
COPYRIGHT © ANTARA 2024