"Soegija" dipilih sebagai judul film lebih memasyarkat

id soegija

"Soegija" dipilih sebagai judul film  lebih memasyarkat

Dialog tentang Film "Soegija" (Foto antarafoto.com)

Semarang (ANTARA Jogja) - "Soegija" dipilih sebagai judul film yang menceritakan perjalanan hidup Uskup pribumi pertama di Indonesia karena dinilai lebih memasyarakat, kata produser film "Soegija" Romo F.X. Murti Hadi Wijayanto SJ.

"Memang menentukan judul film ini melewati berbagai diskusi panjang, sebelumnya direncanakan judulnya 'Romo Kanjeng', namun kelihatannya terlalu kejawaan," katanya, usai nonton bareng film "Soegija" di Semarang, Senin.

 Ada pula yang mengusulkan judul "Silent Diplomacy", kata dia, namun sepertinya terlalu kebarat-baratan, kemudian muncul dua opsi , yakni antara "Kurir" dan "Soegija", dan akhirnya yang terakhir dipilih sebagai judul.

Menurut dia, "Soegija" dipilih sebagai judul film yang menelan biaya produksi sampai Rp12 miliar itu karena dinilai sudah memasyarakat dan familiar di kalangan masyarakat, di samping karena lebih netral.

"Sebenarnya, kami memilih 'Soegija' juga mempertimbangkan karena sudah ada sebuah buku yang menceritakan beliau (Monsiyur Soegijapranata, red.) berjudul 'Soegija Si Anak Betlehem van Java'," katanya.

Selain itu, kata Murti, untuk memunculkan rasa penasaran bagi yang belum mengenal siapa sebenarnya sosok Mgr Soegijapranata, apalagi nama 'Soegija' di masyarakat Jawa banyak dipakai dengan pelafalan "Sugiyo".

Pada acara nonton bareng film "Soegija" yang berlangsung di biskop E Plaza Semarang itu, hadir pula Uskup Agung Semarang Mgr Johannes Pujasumarta yang mengaku sangat mengapresiasi film yang memuat pesan menghargai keberagaman itu.

"Bagi Keuskupan Agung Semarang yang sekarang ini sudah berumur 72 tahun, film yang menceritakan uskup pertama Semarang itu menjadi hadiah istimewa. Karena kepahlawanan dan sikap beliau patut diteladani," katanya.

Pujasumarta mengakui, film "Soegija" sangat relevan dengan kondisi bangsa sekarang ini yang seperti dikotak-kotakkan dengan perbedaan, dan film tersebut diharapkan bisa memberi pencerahan untuk mengelola perbedaan secara baik.

Sementara itu, sutradara film "Soegija" Garin Nugroho mengungkapkan banyak pelajaran tentang multikulturalisme yang bisa dipetik dari film tersebut, misalnya dari bahasa yang digunakan, Jepang, Belanda, Latin, dan bahasa Jawa.

 "Bahkan, pemainnya juga banyak yang dari Jepang dan Belanda. Film ini memang mengambil setting era tahun 1940an, namun ternyata syutingnya selesai hanya 28 hari, lebih cepat dari target selama 45 hari," kata Garin.

Rencananya, film "Soegija" akan diputar di bioskop-bioskop di Indonesia mulai 7 Juni 2012.

    
(KR-ZLS/)