"Uri-uri" bahasa ibu sebagai warisan budaya Indonesia

id bahasa ibu,bahasa daerah,hari bahasa ibu,warisan budaya,revitalisasi bahasa

"Uri-uri" bahasa ibu sebagai warisan budaya Indonesia

Kepala Balai Bahasa Provinsi Papua Sukardi Gau (tengah atas) dan Sekretaris Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbudristek Hafidz Muksin (enam kiri atas) berfoto bersama dalam Festival Tunas Bahasa Ibu Tingkat Papua Tahun 2023, Rabu (22/11/2023). (ANTARA/ Anita Permata Dewi)

Jakarta (ANTARA) - Bahasa adalah budaya yang menunjukkan identitas kita. Bahasa pertama yang dipelajari oleh seorang anak dari keluarga sebagai lingkungan terdekat dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari dikenal sebagai bahasa ibu.

Dalam konteks Indonesia, bahasa ibu seringkali diartikan sebagai bahasa daerah, meskipun bahasa ibu ini bisa saja bahasa Indonesia, terutama bagi anak-anak yang tinggal di perkotaan.

Tercatat ada 718 bahasa daerah yang sudah teridentifikasi di negara multi-suku ini dan menjadikannya sebagai negara dengan bahasa daerah terbanyak kedua di dunia, setelah Papua Nugini.

Bahasa ibu mengandung filosofi, kearifan dan pandangan hidup masyarakat penggunanya. Orang Melayu Riau, misalnya, sangat akrab dengan pantun nasihat yang sarat dengan pesan moral. Dalam tradisi Jawa ada parikan atau pantun dua larik yang berisi nasihat dalam bentuk menghibur.

Dalam beberapa waktu terakhir, muncul kekhawatiran bahwa jumlah penutur bahasa daerah terus berkurang. Bahkan, beberapa bahasa lokal sudah dinyatakan punah karena tidak ada lagi penuturnya.

Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk melindungi bahasa daerah dari ancaman kepunahan. Selain memasukkan bahasa daerah ke dalam muatan lokal kurikulum di sekolah, pemerintah juga melakukan upaya revitalisasi dalam program "Merdeka Belajar".

Tujuan revitalisasi bahasa daerah ini, seperti dikutip dari laman Kemendikbudristek, pertama, agar para penutur muda menjadi penutur aktif bahasa daerah dan mempelajari bahasa daerah dengan penuh suka cita melalui media yang mereka sukai.

Kedua, menjaga kelangsungan hidup bahasa dan sastra daerah. Ketiga, menciptakan ruang kreativitas dan kemerdekaan bagi para penutur bahasa daerah untuk mempertahankan bahasanya. Keempat, menemukan fungsi dan rumah baru dari sebuah bahasa dan sastra daerah.

Pada tahun 2023, Kemendikbudristek melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) melakukan revitalisasi terhadap 59 bahasa daerah di 22 provinsi.

Program ini merupakan kelanjutan dari program tahun 2022 yang telah menerapkan revitalisasi bahasa daerah terhadap 39 bahasa daerah di 13 provinsi. Dari 39 bahasa daerah tersebut, sebanyak 20 bahasa daerah baru ditambahkan pada tahun 2023.

Revitalisasi ini dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk sikap bahasa para penuturnya dan dampak globalisasi. Program ini dirancang untuk lebih fokus kepada revitalisasi daripada pendokumentasian bahasa dan dilakukan melalui pembelajaran serta pendampingan berkelanjutan.

Tujuan dari program ini adalah untuk memastikan keberlanjutan serta vitalitas dari revitalisasi bahasa daerah. Indikator keberhasilan program ini, antara lain adalah adanya media yang memuat bahasa daerah dan forum yang terbentuk untuk berdiskusi dalam bahasa daerah.


Penutur generasi muda

Jika dilihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS), kecenderungan pemakaian bahasa daerah di kalangan anak muda memang semakin berkurang.

Berdasarkan data BPS, proporsi penduduk kelahiran tahun 2013 ke atas atau dikenal dengan kelompok Post Gen Z yang menggunakan bahasa daerah ke tetangga atau kerabat hanya 61,70 persen. Kemudian, hanya 69,9 persen penduduk dari generasi Z, atau yang lahir pada rentang tahun 1997 – 2012, yang menjadi penutur bahasa daerah.

Di kalangan generasi milenial ada sekitar 72,26 persen penduduk yang menggunakan bahasa daerah saat berkomunikasi dengan tetangga atau kerabat. Sebanyak 75,24 persen penduduk Generasi X juga memakai bahasa daerah ketika berbincang dengan tetangga atau kerabat.

Sebanyak 80,32 persen generasi "baby boomer" menggunakan bahasa daerah ketika berkomunikasi dengan tetangga atau kerabat. Adapun, proporsi generasi "pre-boomer" yang menuturkan bahasa daerah mencapai 85,24 persen.

Dari proporsi tersebut terlihat kecenderungan semakin berkurangnya penutur bahasa daerah dari generasi ke generasi.

Penelitian yang dilakukan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud RI pada tahun 2017 melaporkan, sebanyak 11 bahasa daerah di Indonesia telah punah, dengan Maluku sebagai wilayah yang paling banyak mengalami degradasi bahasa daerah.

 

Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Melestarikan bahasa ibu sebagai warisan budaya