Ketentuan ambang batas pencalonan presiden kembali digugat

id mk

Ketentuan ambang batas pencalonan presiden kembali digugat

Mahkamah Konstitusi (Foto antaranews.com)

Jakarta (Antaranews Jogja) - Sebanyak 12 tokoh masyarakat melalui Indrayana Centre for Government Constitution and Society (Integrity) mendaftarkan kembali permohonan uji materi Pasal 222 UU Pemilu yang mengatur ambang batas pencalonan presiden ke Mahkamah Konstitusi (MK).

         Berkas permohonan uji materi tersebut diserahkan ke MK oleh para pemohon yang diwakili oleh mantan pimpinan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hadar Nafis Gumay.

         "Tadi sudah menyerahkan dokumen fisik dan bukti-bukti permohonan, sesegera mungkin setelah MK kembali buka pascalibur Lebaran 2018," kata Hadar di Gedung MK Jakarta, Kamis.

         Hadar menjelaskan bahwa sebelumnya permohonan uji materi ini telah didaftarkan ke MK secara daring pada tanggal 13 Juni 2018.

         Adapun 12 orang pemohon untuk perkara ini adalah mantan Ketua KPK Busyro Muqoddas, mantan Menteri Keuangan M. Chatib Basri, mantan pimpinan KPU Hadar Nafis Gumay, mantan pimpinan KPK Bambang Widjojanto, Direktur Pusako Universitas Andalas Feri Amsari, sutradara film Angga Dwimas Sasongko, Ketua Umum Pengurus Pusat Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak, Direktur Perludem Titi Anggraini, Hasan Yahya, dan tiga orang akademisi.

        Tiga orang akademisi tersebut adalah Faisal Basri, Rocky Gerung, dan Robertus Robert.

         Hadar memaparkan para pemohon berpendapat bahwa Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 6A Ayat (5) UUD NRI 1945 yang hanya mendelegasikan pengaturan tata cara pencalonan presiden.

         "Pengaturan delegasi 'syarat' capres ada pada Pasal 6 Ayat (2) UUD 1945 dan tidak terkait pengusulan oleh parpol sehingga Pasal 222 UU Pemilu yang mengatur 'syarat' capres oleh parpol bertentangan dengan Pasal 6 Ayat (2) UUD 1945," kata Hadar.

         Selain itu, pemohon berpendapat bahwa syarat pengusulan capres oleh parpol seharusnya adalah kebijakan tertutup pembuat undang-undang, bukan kebijakan tertutup.

         Lebih lanjut pemohon berpendapat bahwa penghitungan ambang batas pencalonan presiden yang dilakukan berdasarkan hasil Pemilu DPR sebelumnya telah menghilangkan esensi pelaksanaan pemilu.

         "Penghitungan ambang batas pencalonan presiden berdasarkan hasil Pemilu DPR sebelumnya adalah irasional," tambah Hadar.

         Oleh sebab itu, ambang batas pencalonan presiden dinilai pemohon telah menghilangkan esensi pemilihan presiden karena lebih berpotensi menghadirkan capres tunggal.

         "Kalaupun Pasal 222 UU Pemilu dianggap tidak langsung bertentangan dengan konstitusi, tetapi potensi pelanggaran konstitusi sekecil apa pun yang disebabkan pasal tersebut harus diantisipasi Mahkamah agar tidak muncul ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945," pungkas Hadar.
Pewarta :
Editor: Bambang Sutopo Hadi
COPYRIGHT © ANTARA 2024